Bintang
Yang Redup
Oleh
: Ismi Roichatul Jannah
Malam
telah datang. Rembulan sang dewi malam telah bersinar menggantikan mentari yang
telah kembali ke peraduan di ufuk barat. Malam tanpa bintang di atas langit
perkotaan, tetesan hujan yang berjatuhan seperti menggambarkan perasaan seorang
gadis yang tengah menatap ke arah langit malam. Aroma hujan bercampur dengan
dinginnya malam semakin menggambarkan betapa mirisnya hati sang gadis.
Malam
semakin larut. Dinginnya malam tak sedikitpun mengusik sang gadis. Dia tetap bergeming,
entah sudah berapa lama Dinda duduk terdiam menatap langit malam. Entah apa
yang ditatapnya.. Entah apa yang ditunggunya.. hanya ada kabut putih di luar
sana.
Setiap
malam Dinda menatap, berharap akan menemukan sesuatu yang tengah dicarinya..
Berharap menemukan bintang dalam kabut putih di atas langit perkotaan.
Pikirannya kembali melayang menembus kenangan terakhirnya bersama sang
bintang—bintang hatinya—
“Arinda... Arinda...”
Suatu
senja, seorang anak laki – laki yang masih menggunakan seragam merah putih mengetuk
pintu depan rumah seseorang. Tak lama setelah anak laki – laki itu menunggu,
seorang laki – laki yang berperawakan tinggi, keluar dengan senyum tersungging
di bibirnya.
“Bintang?”
Seseorang
anak laki – laki yang dipanggil Bintang itu langsung mendongak melihat
seseorang yang sedang berdiri di depannya. Melihat sosok yang ia kenal berdiri di
depannya, Bintang langsung memberikan senyumnya.
“Mau
cari Dinda?”
“Iya
Kak Fabian.”
Laki
– laki yang dipanggil Fabian itupun langsung berteriak ke dalam rumah memanggil
nama Dinda. Tak lama kemudian keluar seorang gadis kecil berkulit putih dengan
kunciran kepang pada rambut hitamnya.
Melihat
siapa yang datang mencarinya, Dinda langsung memberikan senyum termanisnya
untuk Bintang—sahabat terbaiknya. Dengan nada bicaranya yang ceria, Dinda
menyapa Bintang dengan semangat seperti bertemu dengan kawan lama.
“Ayo.”
Dinda langsung menarik tangan Bintang dan membawanya lari tanpa mengucapkan
satu patah katapun untuk kakaknya. Melihat adik tersayangnya senang merupakan
anugrah besar untuk Fabian.
Dinda
dan Bintang datang ke sebuah taman yang indah. Taman dengan pemandangan malam
yang sungguh mempesona. Bintang dan Dinda duduk di atas rumput taman yang basah
karena rintik hujan.
“Arinda
lihat ke atas langit.” Pinta Bintang pada Dinda.
Dinda
berbicara dengan polosnya. “Banyak Bintang. Seperti nama kamu.” Bintang hanya
diam mendengarkan kepolosan Dinda.
“Kamu
kenapa selalu panggil aku Arinda?”
“Nama
kamu Arinda Putri. Jadi gak ada yang salah kalau aku panggil Arinda.”
“Tapi
Kak Fabian dan yang lain selalu panggil aku Dinda.”
“Aku
panggil kamu Arinda supaya berbeda dengan yang lain.”
Hening.
Jeda beberapa lama, tak ada siapapun yang mengeluarkan suara. Keduanya tak
hentinya bergeming menatap langit malam yang penuh dengan kerlip bintang.
Bintang
bicara memecah keheningan. “Arinda tau kalau hujan turun, tidak akan ada
bintang di atas sana?” Dinda mengalihkan pandangannya dari bintang di atas
langit kepada Bintang yang duduk di sebelahnya. Bintang melanjutkan
pembicaraanya. “Kalau seandainya Bintang yang di sebelah kamu ini redup, aku
berharap bintang di atas sana bisa menggantikanku untuk selalu membuat Arinda
tersenyum.”
“Maksudnya?”
tanya Dinda tak mengerti.
“Apapun
yang terjadi, Bintang mau Arinda tetap tersenyum. Walaupun Bintang di sebelah
kamu ini redup, jangan biarkan bintang yang ada di hati Arinda redup.”
Beberapa
minggu kemudian, hanya nisan bertuliskan nama Bintang Anantyo yang Dinda lihat.
Dinda tidak menitihkan air mata setetespun. Dinda hanya bergeming dan tak
mengeluarkan sepatah katapun seperti tak bernyawa.
Tiba
– tiba ada sentuhan hangat di pundak kanannya yang menyadarkan Dinda dari
sebuah mimpi indah dan membawanya kembali ke dunia nyata untuk menghadapi
kenyataan. Tanpa sadar, air mata yang sudah sedari tadi ia tahan telah mengalir
di pipinya.
“Kamu
kenapa?” Fabian bertanya melihat adiknya menitihkan air mata.
“Kenapa
Bintang pergi? Katanya aku bisa melihat Bintang ada di langit setiap hari.” Dengan
polosnya Dinda bertanya pada kakaknya.
“Bintang
akan selalu ada di hati kamu. Dan kamu tidak boleh seperti ini. Kamu harus bisa
menerima kenyataan karena kita hidup di dunia nyata, bukan dongeng. Dinda
jangan pernah menangis lagi ya?”
Dengan
kepolosannya, Dinda mengangguk. Dinda menghapus air mata yang membekas di
pipinya. Fabian langsung mendekap adik tersayangnya yang masih lugu itu.
Setelah
kakaknya keluar dari kamar, Dinda mengambil buku pemberian Bintang sebelum
Bintang pergi meninggalkannya. Dinda menggerakkan penanya dan mencurahkan isi
hatinya ke dalam buku pemberian Bintang bersampul biru dan bertuliskan Diary Arinda.
Dinda
mengambil kertas yang terlipat di dalam buku pemberian Bintang dan membaca
tulisan yang sudah ia baca berkali – kali.
Dear Arinda
Maafkan
Bintang karena aku tidak dapat terus bersinar untuk Arinda. Ada saatnya
Bintangmu ini redup dan tak kuasa melawan takdir. Jangan pernah menganggap
Bintang sudah pergi jauh. Bintang akan selalu ada di hati Arinda. Saat senja
tiba, aku akan menjadi bintang paling terang di atas langit yang akan selalu
melindungi Arinda. Bintang mau Arinda selalu tersenyum mengenang persahabatan
yang sudah kita lalui sama – sama.
Bintang
“Arinda
gak akan pernah melupakan Bintang. Bintang di hati Arinda gak akan pernah
redup. Dan Arinda akan selalu tersenyum untuk Bintang.” Kata Dinda pada diri
sendiri.