Selasa, 16 September 2014

Cerpen "Bintang Yang Redup"

Bintang Yang Redup
Oleh : Ismi Roichatul Jannah
Malam telah datang. Rembulan sang dewi malam telah bersinar menggantikan mentari yang telah kembali ke peraduan di ufuk barat. Malam tanpa bintang di atas langit perkotaan, tetesan hujan yang berjatuhan seperti menggambarkan perasaan seorang gadis yang tengah menatap ke arah langit malam. Aroma hujan bercampur dengan dinginnya malam semakin menggambarkan betapa mirisnya hati sang gadis.
Malam semakin larut. Dinginnya malam tak sedikitpun  mengusik sang gadis. Dia tetap bergeming, entah sudah berapa lama Dinda duduk terdiam menatap langit malam. Entah apa yang ditatapnya.. Entah apa yang ditunggunya.. hanya ada kabut putih di luar sana.
Setiap malam Dinda menatap, berharap akan menemukan sesuatu yang tengah dicarinya.. Berharap menemukan bintang dalam kabut putih di atas langit perkotaan. Pikirannya kembali melayang menembus kenangan terakhirnya bersama sang bintang—bintang hatinya—
 “Arinda... Arinda...”
Suatu senja, seorang anak laki – laki yang masih menggunakan seragam merah putih mengetuk pintu depan rumah seseorang. Tak lama setelah anak laki – laki itu menunggu, seorang laki – laki yang berperawakan tinggi, keluar dengan senyum tersungging di bibirnya.
“Bintang?”
Seseorang anak laki – laki yang dipanggil Bintang itu langsung mendongak melihat seseorang yang sedang berdiri di depannya. Melihat sosok yang ia kenal berdiri di depannya, Bintang langsung memberikan senyumnya.
“Mau cari Dinda?”
“Iya Kak Fabian.”
Laki – laki yang dipanggil Fabian itupun langsung berteriak ke dalam rumah memanggil nama Dinda. Tak lama kemudian keluar seorang gadis kecil berkulit putih dengan kunciran kepang pada rambut hitamnya.
Melihat siapa yang datang mencarinya, Dinda langsung memberikan senyum termanisnya untuk Bintang—sahabat terbaiknya. Dengan nada bicaranya yang ceria, Dinda menyapa Bintang dengan semangat seperti bertemu dengan kawan lama.
“Ayo.” Dinda langsung menarik tangan Bintang dan membawanya lari tanpa mengucapkan satu patah katapun untuk kakaknya. Melihat adik tersayangnya senang merupakan anugrah besar untuk Fabian.
Dinda dan Bintang datang ke sebuah taman yang indah. Taman dengan pemandangan malam yang sungguh mempesona. Bintang dan Dinda duduk di atas rumput taman yang basah karena rintik hujan.
“Arinda lihat ke atas langit.” Pinta Bintang pada Dinda.
Dinda berbicara dengan polosnya. “Banyak Bintang. Seperti nama kamu.” Bintang hanya diam mendengarkan kepolosan Dinda.
“Kamu kenapa selalu panggil aku Arinda?”
“Nama kamu Arinda Putri. Jadi gak ada yang salah kalau aku panggil Arinda.”
“Tapi Kak Fabian dan yang lain selalu panggil aku Dinda.”
“Aku panggil kamu Arinda supaya berbeda dengan yang lain.”
Hening. Jeda beberapa lama, tak ada siapapun yang mengeluarkan suara. Keduanya tak hentinya bergeming menatap langit malam yang penuh dengan kerlip bintang.
Bintang bicara memecah keheningan. “Arinda tau kalau hujan turun, tidak akan ada bintang di atas sana?” Dinda mengalihkan pandangannya dari bintang di atas langit kepada Bintang yang duduk di sebelahnya. Bintang melanjutkan pembicaraanya. “Kalau seandainya Bintang yang di sebelah kamu ini redup, aku berharap bintang di atas sana bisa menggantikanku untuk selalu membuat Arinda tersenyum.”
“Maksudnya?” tanya Dinda tak mengerti.
“Apapun yang terjadi, Bintang mau Arinda tetap tersenyum. Walaupun Bintang di sebelah kamu ini redup, jangan biarkan bintang yang ada di hati Arinda redup.”
Beberapa minggu kemudian, hanya nisan bertuliskan nama Bintang Anantyo yang Dinda lihat. Dinda tidak menitihkan air mata setetespun. Dinda hanya bergeming dan tak mengeluarkan sepatah katapun seperti tak bernyawa.
Tiba – tiba ada sentuhan hangat di pundak kanannya yang menyadarkan Dinda dari sebuah mimpi indah dan membawanya kembali ke dunia nyata untuk menghadapi kenyataan. Tanpa sadar, air mata yang sudah sedari tadi ia tahan telah mengalir di pipinya.
“Kamu kenapa?” Fabian bertanya melihat adiknya menitihkan air mata.
“Kenapa Bintang pergi? Katanya aku bisa melihat Bintang ada di langit setiap hari.” Dengan polosnya Dinda bertanya pada kakaknya.
“Bintang akan selalu ada di hati kamu. Dan kamu tidak boleh seperti ini. Kamu harus bisa menerima kenyataan karena kita hidup di dunia nyata, bukan dongeng. Dinda jangan pernah menangis lagi ya?”
Dengan kepolosannya, Dinda mengangguk. Dinda menghapus air mata yang membekas di pipinya. Fabian langsung mendekap adik tersayangnya yang masih lugu itu.
Setelah kakaknya keluar dari kamar, Dinda mengambil buku pemberian Bintang sebelum Bintang pergi meninggalkannya. Dinda menggerakkan penanya dan mencurahkan isi hatinya ke dalam buku pemberian Bintang bersampul biru dan bertuliskan Diary Arinda.
Dinda mengambil kertas yang terlipat di dalam buku pemberian Bintang dan membaca tulisan yang sudah ia baca berkali – kali.

Dear Arinda
Maafkan Bintang karena aku tidak dapat terus bersinar untuk Arinda. Ada saatnya Bintangmu ini redup dan tak kuasa melawan takdir. Jangan pernah menganggap Bintang sudah pergi jauh. Bintang akan selalu ada di hati Arinda. Saat senja tiba, aku akan menjadi bintang paling terang di atas langit yang akan selalu melindungi Arinda. Bintang mau Arinda selalu tersenyum mengenang persahabatan yang sudah kita lalui sama – sama.
Bintang

“Arinda gak akan pernah melupakan Bintang. Bintang di hati Arinda gak akan pernah redup. Dan Arinda akan selalu tersenyum untuk Bintang.” Kata Dinda pada diri sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar