Filosofi Kopi
Bab 19 : Rico de Coro
By : Dee
Aku lahir di dalam meja kayu antik yang penuh ukiran. Meja bulat berlapis kaca itulah tempat persinggahan ibuku yang terakhir. Untung Ibu sempat melekatkan telurku di antara lekuk ukiran sebelum wafat disemprot Baygon. Kalau tidak, aku tak akan mengalami kisah ajaib ini.
Aku jatuh cinta. Dan itu merupakan masalah besar bagiku, dan bagi bangsaku. Gadis yang kucintai adalah seorang manusia remaja berparas manis dengan nama yang manis pula: Sarah.
Rambutnya sebahu, sedikit ikal, kulitnya cerah dan wangi. Dialah manusia yang paling baik di rumah yang kutumpangi ini. Namun, bagi bangsaku, dia tak lebih dari seorang pembunuh.
Padahal aku tahu pasti, Sarah tidak mungkin membunuh. Sering aku mendengar dia berbicara pada setiap orang: “Kalau saya melihat kecoak, biar dari jarak lima meter, bukan dia yang lari, tapi saya yang ngacir duluan!” lalu matanya membelalak, lndah sekali.
Memang demikian yang terjadi. Selama ini oknum-oknum yang sering memburu kami hanyalah Bi Ipah, Tante dan Om Haryanto (pemilik rumah ini), David dan Natalia (kakak-kakaknya Sarah). Sarah sendiri tidak pernah berani berurusan dengan kami. Setiap kali mendekati kerajaan yang terletak di dapur, dia selalu minta ditemani.
Aku semakin yakin, sebenarnya dia sayang padaku. Setiap kali dilihatnya aku bertengger di lemari piring, Sarah hanya tertegun, kemudian berlari keluar. Dia tak ingin menyakitiku.
Ayah tak pernah mau mengerti. Posisinya memang sulit. Sebagai seorang raja, dia memiliki beban berat. Ayah berharap aku menggantikan posisinya kelak, lengkap dengan karisma yang tak mungkin kumiliki.
Ayah adalah kecoak ningrat yang tiada duanya. Ia perpaduan kecoak hutan yang besar dan kuat dengan kecoak rumahan yang pintar. Dulu Ayahku berurbanisasi dari hutan ke kota dengan cara bersembunyi di balik sayur yang diangkut ke pasar induk. Entah bagaimana caranya sampai ia terbawa ke rumah ini.
Masa kecilnya dihabiskan di lubang dekat televisi karena itulah dia pintar, berbudaya, dan punya wawasan luas. Dia mempelajari semuanya dari kotak listrik warna warni itu.
Ayahku jugalah yang memberikan nama bagi kami semua, sehingga kami tidak sama dengan kecoak-kecoak selokan yang suka muncul dari lubang kamar mandi. “Kecoak WC itu tidak beradab. Mereka masih hidup di zaman primitif saat kecoak tidak punya identitas. Apalagi bau badan mereka yang... puah! Mana tahan!” katanya selalu. Ayah percaya bau badan kami lebih wangi. Setidaknya kami bergelut di sisa makanan, bukan di hasil akhirnya.
Ayah menamai dirinya sendiri HUNTER. Diadaptasi dari tokoh jagoan film favoritnya dulu. Bagi Ayah, nama itu gagah betul.
Perbendaharaan nama Ayah banyak dan bagus-bagus, ada Renegade. Dimension. Marimar, Bella Vista, Laurier, Glade, dan lain-lain. Semuanya diambilnya dari televisi. Kecuali aku. Namaku memiliki sejarah yang lain daripada yang lain.
Tadinya aku mau dinamai Tak Tik Boom. Ayah bilang nama itu sangat cocok untuk kecoak, lucu tapi juga kedengaran cerdik dan taktis. Cocok untuk seekor calon raja. Tapi begitu aku mendengar sebuah nama yang terucap dari mulut Sarah pujaanku, segalanya berubah.
Waktu itu. Bi Ipah sedang memberi makan sepasang ikan arowana kesayangan Om Haryanto, dan makanan itu berupa seekor... (maaf) kecoak. Syukur aku tak mengenalinya. Dia seekor kecoak apes yang tertangkap di kamar mandi.
Tontonan itu sebenarnya tabu untuk dilihat oleh sesama kecoak. Bawa sial, katanya. Bisa-bisa kita ikut berumur pendek. Namun saat itu aku tak sanggup menahan dirii, sebab Sarah-ku ada di sana, tertawa-tawa manis di pinggir akuarium.
Masa itu tampaknya musim kawin bangsa ikan. Kata Ayah. kedua ikan arowana bisa saling membunuh kalau disatukan dalam satu akuarium, tapi angin cinta dan perdamaian memang sedang bertiup. Kedua ikan sang kalau melihat bayangan sendiri bisa gila karena ingin mencabik cabik, sekarang malah... pacaran! Kelakuan mereka primitif betul.
“Yuk, kita kasih nama semuanya.” kata Sarah pada David dan Natalia yang juga ikut menonton. Aku terharu. Betapa miripnya Sarah dengan Ayah.
Gadis cantik itu berpikir sejenak lalu berseru. “Kita pakai saja nama anak-anak kompleks!”
“Setuju! Setuju!” David dan Natalia menyahuti semangat. Otak-otak nakal mereka langsung giat berputar.
“Ikan Arowananya kita kasih nama Michad dan Meiti!”
“Makanan-makanannya juga. dong. Bagaimana kalau kelabangnya kita kasih nama Anto!” usul David dengan berbinar-binar. teringat musuh sejak kecilnya, Anto Suwiryo. anak RT 5S yang selalu licik bermain gundu tapi tak bisa dilawan karena badannya besar.
“Kodoknya.. Indra!”
“Ikan-ikan kecilnya. . Nino en de geng!”
Tante Haryanto yang numpang lewat juga ikut-ikutan.
“Kalau corone jenenge opo?”
Sarah yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara. “Coro-nya... Rico! lucu, kan? Rico de Coro!” ujarnya dengan mimik menggemaskan.
R-l-C-O... Rico.. nama yang sungguh indah!
“Da-dah. Rico.” Sarah mengucap lirih sambil melambatkan tangan. Bi Ipah pun melepaskan kumis kecoak malang yang langsung hilang disikat arowana kelaparan itu. Entah si Michaeld atau si Meiti. Aku tak lagi peduli.
Yang ada di pikiranku hanya nama itu... bayangkan, Sarah memberi nama pada seekor kecoak jelata!
Sebut aku penjiplak, plagiator, dan sebagainya, tapi aku tak mungkin membiarkan nama yang terlontar dari buah hatiku hilang bersama nyawa kecoak tak jelas. Biarlah aku yang mewarisi nama Rico de Coro, mulai detik itu sampai selama-lamanya.
***
Pada suatu malam, terjadi rapat besar di lemari gas LPG. Di sanalah istana kediaman Ayah, aku. dan ibu tiriku. Tempat itu memang paling nyaman dari semua pelosok dapur. Paling Iembap. gelap, dan jarang diusik.
Aku dan adik-adik tiriku tengah memandangi Ayah yang berbicara berapi-api di depan mimbar.
“Ini sudah keterlaluan!” serunya penuh amarah. “Petruk, coba beritahu yang lain!” perintahnya pada Petruk. asisten pribadi sekaligus Sekretaris Kerajaan.
Petruk berdehem sejenak. “Tadi pagi, ada musibah yang menimpa salah seekor warga kita... Lala Pita.”
Suara Petruk bergetar, menyiratkan duka yang dalam.
Khalayak langsung ribut. Aku ikut terperanjat mendengarnya. Lala Pita adalah kecoak albino yang manis, usianya kira-kira sebaya denganku. Dan kami tahu benar berapa puluh kecoak jantan yang saling bersaing untuk mengawini Pita. Sebelum bertemu Sarah aku juga pernah sedikit naksir.
“Bagaimana dia bisa mati?” jerit Komo, salah seorang fans berat Pita.
Petruk seperti tak sanggup bercerita, tapi dia berusaha menguatkan diri. “David... anak itu... anak itu menangkap Pita. Dia tidak membunuhnya sekaligus... tapi, dia menjeratnya dengan sebuah sisir, dan kemudian... me...menyimpulkan kedua sungutnya, se... sehingga...” Petruk terpaksa berhenti dulu untuk menenangkan hati.
Semua langsung tercekat ngeri. Sungutnya disimpul? Bagi para kecoak, itu sama saja dengan siksa alam kubur. Seratus kali lebih baik diinjak atau disemprot, daripada disakiti seperti itu.
“Pita sepertinya sungguh tersiksa. Beberapa dari kita menemukannya sudah tak bernyawa, tapi itu pun sudah terlambat... kawanan semut sudah mengarak-araknya pergi...” Petruk sampai tersedak.
Saat itu aku benar-benar benci pada David. Teganya dia menghabisi nyawa Pita seperti itu. Malangnya lagi, kecoak rupawan itu berakhir menjadi santapan para semut hina. Rakyat hiruk-pikuk. Ibu-ibu saling berpelukan dan tersedu-sedan. Para pemuda pun mengutuki David habis-habisan dengan segala sumpah serapah untuk menggerayanginya sampai mampus, mengencinginya sampai bengkak-bengkak.
Ayah kelihatan berpikir keras, la lalu bangkit dan berkata, “Mulai sekarang kita berlakukan lagi jam siang!” Suaranya menggelegar dan membungkam mulut semuanya.
“Tidak ada lagi kecoak yang boleh berkeliaran sebelum pukul enam sore. Tidak ada lagi yang boleh iseng-iseng menampakkan diri untuk menakut-nakuti Sarah. Semuanya harus bersembunyi sampai aku menemukan cara untuk membalas dendam!”
Tak lama, pertemuan itu bubar. Suasana istana muram durja. Aku ngeri melihat Ayah. Saat-saat seperti ini selalu memunculkan sisi kecoak hutannya yang sangar. Dia mondar-mandir, kadang-kadang mengembangkan sayapnya yang kokoh dan terbang dari tembok satu ke tembok lainnya. Aku berusaha sedapat mungkin untuk tidak memperlihatkan diri, bersembunyi di balik wajan atau panci. Persoalan cintaku pada Sarah akan membuatnya semakin gila.
Kengerian semakin melanda Kerajaan.
Jam siang yang sudah diberlakukan ternyata tidak berdampak seampuh yang kami kira. Perburuan terhadap warga oleh oknum-oknum keluarga Haryanto berjalan tanpa ampun, tak kenal siang atau malam.
Biasanya, hanya sebagian dari kami yang lengah saja yang tertangkap. Namun sekarang mereka sudah dengan beringas mengobrak-abrik laci-laci tempat keluarga-keluarga kami tinggal, dan semuanya berakhir di perut sepasang ikan arowana Kalimantan yang sedang kasmaran.
Fenomena ini menjadi tanda tanya besar bagi semuanya, hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk mendekati ruang kerja Om Haryanto, tempat dia dan istrinya berdiskusi masalah rumah tangga. Ternyata mereka sedang dibelit masalah keuangan, semuanya dibahas, termasuk anggaran makan ikan arowana.
“Bayangkan, berapa duit yang harus keluar kalau kita kasih mereka kelabang setiap hari? Satu kelabang saja sudah gopek! Kodok juga mahal. Ikan kecil mereka nggak doyan lagi. Terus, ikannya ada dua! Makan mereka sebulan sudah sama dengan uang jajan si Sarah,” Tante Haryanto mulai berargumentasi, “Sudah deh, Pi, kita jual saja ikannya...”
Om Haryanto dengan keras menolak. “Aku sayang sekali sama ikan-ikan itu. Kau kan tahu. mereka sudah kupelihara dari kecil. Mereka tidak boleh kelaparan, apa pun caranya! Biarlah, sementara mereka dikasih makan kecoak saja.”
“Ah, Papi. kecoak mana ada gizinya! Jorok lagi. Lagian berapa puluh yang harus kita tangkap, sementara ikan-ikan itu kelaparan melulu? Aku jijik cari-cari kecoak tiap hari di dapur.” Rajuk Tante Haryanto.
“Suruh saja si Ipah atau David yang cari. Pokoknya ikan-ikan itu tidak boleh dijual!” Om Haryanto mengultimatum.
Jelaslah jawaban misteri pembantaian selama ini.
Buru-buru aku menyelinap menuju dapur, melaporkan informasi tersebut pada Petruk yang langsung pergi melapor pada Ayah.
Di luar dugaan kami. Ayah malah naik pitam. “Kurang ajar! Mereka pikir kita kecoak-kecoak murahan, apa?!” Teriaknya seketika. “Kalau cuma mengganjal perut ikan-ikan bodoh itu, kenapa mereka tidak pilih kecoak got yang sama-sama tidak punya otak?! Kita kan bangsa berbudaya, beradab. Sudah sepatutnya nyawa kita dihargai lebih dari sekadar makanan ikan.” lanjutnya lagi. Badannya yang besar kian mengembang. “Kita akan buktikan kalau kita tidak sama dengan kecoak-kecoak lain!”
Tiba-tiba kudengar ia meneriakkan namaku. “RI-COOO!”
Tubuhku langsung kaku. Tapi kuheranikan diri untuk mendongak sedikit demi sedikit. Pasti Ayah akan mengungkit-ungkit masalah itu lagi. Dan benar saja.
“Kamu... otakmu juga ada di got! Persis kecoak WC! Bagaimana mungkin kamu bisa tergila-gila dengan manusia pembunuh itu...”
“Dia bukan pembunuh! Dia belum pernah menyakiti satu kecoak pun!” bantahku, spontan. Keberanian dari panci mana ini? Bisa-bisanya aku menentang Hunter Sang Raja.
“Masih berani-beraninya kamu bela dia? Dia memang tidak melakukannya secara langsung, tapi berapa ratus kali orang-orang di rumah ini membunuh kira gara-gara dia? Anak manja yang cuma bisa aduh-aduh-tolong-tolong. Dia pikir kita ini genderuwo. apa?”
Sederet kalimat pembelaan sudah siap meluncur keluar. Tapi kulihat ibu tiriku memberi kode-kode supaya aku tidak membantah.
“Daripada kamu memikirkan cinta butamu itu. lebih baik kamu pikirkan nasib bangsa yang kelak akan ada di tanganmu. Jangan sampai kamu membuai wargamu menjadi calon makanan ikan, dan bagi bibit-bibit ikan yang akan lahir dan kelak akan mengganyang bangsa kita!” serunya menyala-nyala, terbakar semangat nasionalisme sampai gosong. Setiap kali mendengar Ayah bicara begitu, aku merasa lelah.
“Coba cari sendok dan berkacalah di sana!” bentak Ayah lagi. “Lihat dirimu. Kita ini kecoak! Di mata manusia, kita selamanya hitam, kecil, jelek, bau!”
Kali ini kata-katanya menamparku telak.
“Dan kalau itu juga yang jadi pendapatmu, maka kamu kecoak gadungan. Mungkin kamu anak manusia yang dikutuk jadi kecoak. Tapi kalau kamu bisa melihat bayanganmu sebagai makhluk yang gagah, tampan, dan punya arti... barulah kamu kecoak yang sejati. Dan pantas menjadi penggantiku.” Suara Ayah terus menurun, tertekan. Seperti menahan tangis.
Mendadak aku jadi sedih, baru sekarang kudengar Ayah sebegitu kecewa. Tak sanggup lagi kulihat sosoknya yang pergi menjauh. Namun rnasib kurasakan sakir tamparan kala-katanya... hitam, kecil, jelek, bau. Perlahan-lahan aku beringsut mendekati tutup panci yang mengkilap dan melihat bayanganku di sana.
Ingin aku menjerit ketika kusadari kebetulan kata-karanya. Tak kulihat bayangan makhluk tampan dan gagah. Yang ada hanyalah serangga pipih bersungut panjang—hitam, kecil, jelek, dan bau.
***
Kerajaan kami sudah berubah total. Malapetaka ini sudah mencapai puncaknya. Populasi warga sudah menyusut hampir sepertiga. Jalanan semakin sepi dan rumah-tumah terlihat lengang. Tak ada lagi pesta pora tengah malam, tak ada arisan ibu-ibu gosip, atau kawanan kecoak kecil yang bermain bebas.
Hari-hariku berubah menjadi rangkaian nelangsa. Aku tak dapat memandangi Sarah sebebas dulu. Dan yang gilanya, kejadian ini malah membuat cinta dan pengharapanku semakin dalam, membuatku terjebak dalam mimpi-mimpi absurd, misalnya, berubah menjadi manusia.
Pada suatu siang, ketika baru terbangun dari mimpi-mimpi gila itu. aku menyadari ada beberapa kecoak bercakap-cakap.
“Yang Mulia, itu gagasan yang sangat hebat. Tapi apakah mungkin berhasil? Mungkinkah manusia-manusia itu mengerti?”
“Percayalah Truk, itu satu-satunya jalan supaya mereka dapat ganjaran.”
“Tapi bagaimana caranya kita berkomunikasi dengan dia?”
“Gerak-geriknya sudah kupelajari. Biarpun sedikit aneh. Tapi kupikir banyak kesamaannya dengan bahasa kita. Aku yakin kita bisa berkomunikasi.”
Aku segera tahu. Itu suara Ayah dan Petruk. Tiba-tiba kudengar suara kecoak betina. Ibu tiriku, Vinolia atau Mami Vin. panggilan akrabnya.
“Hunter, kupikir itu salah.” Dengan lembut ia angkat bicara. “Aku tidak mengerti kenapa kamu berpikir sekonyol itu. Aturan kita tidak sama dengan aturan mereka. Kita tidak perlu membalas dendam pada siapa pun. Sudah pasti yang kuatlah yang menang. Dan apalah arti serangga seperti kita dibandingkan makhluk sepintar manusia.”
Ayah berkeras. “Sampai kapan kita mau diperlakukan seperti ini? Sampai kapan mental kita tetap bertahan sebagai hewan busuk yang bisa dibasmi begitu saja? Apa kamu tidak ingin melihat sesamamu maju? Kecoak sudah ada di muka Bumi sebelum manusia, dan kita akan terus ada sekalipun semua manusia punah! Jadi. siapa yang lebih kuat?”
Mami Vin melengos. “Kamu terlalu lama hidup bersama televisi.” katanya ketus, “Anakmu sendiri kamu petuahi agar jadi kecoak sejati, padahal pikiranmu sudah sama dengan manusia.”
Ayah sepertinya sudah ingin meledak, tapi rasa hormatnya pada Mami Vin membuatnya bungkam. Dialihkan nyalah perhatiannya pada Petruk. “Kita tetap jalankan rencana..”
Tentunya Petruk manut. la segan pada Hunter lebih dari apa pun.
“Besok kita akan menemuinya.” tandas Ayah. “Aku yang akan berbicara langsung. Tolong siapkan beberapa serdadu kuat untuk ikut pergi. Bagaimanapun dia masih harus kita anggap berbahaya, sampai kita betul-betul tahu...”
***
Mereka berdua terus berbicara sambil berjalan keluar istana, tak dapat lagi kutangkap pembicaraan mereka. Yang jelas, rencana itu besar dan... berbahaya.
Dari balik tirai, aku asyik mengamati Sarah yang tengah tertidur pulas. Kusembunyikan kedua sungut ini rapi-rapi setiap kali mengunjungi kamarnya, karena perjalanan ini berbahaya sekali.
Kamar Sarah dilengkapi obat nyamuk listrik yang cukup bikin kami sempoyongan, dan yang lebih ngeri lagi, perangkap-perangkap khusus kecoak. Keluarganyalah yang sengaja menaruh ruang-ruang eksekusi itu supaya mereka tidak usah repot dipanggil tengah malam untuk memburu kami.
Tiba-riba Natalia menyeruak masuk, membongkar-bongkar, mengobrak-abrik sana-sini.
“Sebenarnya, apa yang kamu cari?” tanya David yang membuntutinya dari tadi.
“Hasil percobaan di kampus. Yang bikin itu profesor Biologi yang agak edan.” Natalia memiringkan telunjuknya di dahi. Ketika sudah seperempat jam mencari dan tidak ketemu-ketemu, Natalia tambah pucat pasi.
“Percobaan apa?” rongrong David tak sabar.
Sekilas Natalia memandang Sarah yang masih tertidur.
“Nanti saja, ada Sarah. Aku takut dia dengar.”
“Dia kan lagi tidur. Kalau kamu tidak bilang, aku tidak mau bantu mencari.” ancam David.
Walau ragu, Natalia mulai berbicara pelan-pelan. Kulihat mata David membelalak, sementara aku sendiri rasanya seperti digilas sepalu lars. Secepat kilat aku menyelinap kembali ke istana. Dan ternyata... akulah yang paling terlambat tahu.
***
Semua warga sudah mengetahui tentang kehadiran seekor makhluk aneh yang kini ditempatkan di bilik istana. Segera kukais-kais informasi, tapi berita yang beredar masih simpang-siur.
“Dia sungguh besaaar... menakutkan! Bentuknya seperti ratu semut, tapi lebih ngeri!”
“Makhluk itu seperti belalang lamban, kelihatannya bodoh.”
“Ular naga. Ya. Betul-betul seekor ular naga.”
Nekat, kuterobos penjagaan istana untuk menemui Ayah. Dan langkahku serta merta terhenti ketika berhadapan dengan sosok teraneh yang pernah kulihat.
Makhluk itu seperti perpaduan kumbang, belalang, dan... kecoak. Warnanya cokelat kusam, sungutnya pendek dan tebal, sayapnya kecil hingga nyaris tidak terlihat, tapi yang membuat jijik adalah posisi tubuhnya yang aneh. Badannya sebesar Ayah tapi dengan posisi manusia duduk! Punggungnya melengkung bagai bulan sabit. Kaki-kaki yang menopang posisi duduknya hanya sedikit dan lemah hingga ia bergerak sangat lamban. Bahkan hampir tak bergerak. Sementara kaki-kaki sisanya menengadah begitu saja seperti tanpa fungsi.
Dia memang kelihatan seperti monster besar yang bodoh, tapi ada satu kengerian yang membuatku tak mampu berkata-kata: di bawah sungut pendeknya- terdapat dua capit besar yang tajam berkilat! Mungkinkah...mungkinkah itu yang dibicarakan David dan Natalia tadi?
Ayah nampak sama sekali tak gentar berdekatan dengan monster itu. la malah memperkenalkannya padaku.
“Ah. Rico. Kenalkan, dia masih famili bangsa kita...Tuan Absurdo!”
Tuan Absurdo berkala terpatah-patah dengan rintihan yang mirip berkumur. “Grrroorbll... Rhhheckhho.phaaangerraan mudzraaah...”
"Pangeran muda. Maksudnya.” Ayah menerjemahkan dengan bangga. Seolah-olah ia telah belajar suatu bahasa yang luar biasa.
Aku bergeming menatapnya. “Apa yang Ayah akan lakukan?”
Ayah tertawa kecil. “Tuan Absurdo ini akan bekerja-sama dengan kita untuk memberi ganjaran pada manusia-manusia kejam itu.” dia menepuk badan Absurdo yang ternyata lembek seperti bantal, “Hidupnya tidak panjang, karena itulah dia ingin menggunakan sisa usianya untuk hal yang berguna.”
Tuan Absurdo mengangguk-angguk pelan sambil terkekeh. “Hrgeeh... hrgeeh... Itrgeeh...”
Aku memandanginya, antara mual dan iba. Namun rasa kasihankulah yang bertambah setelah mengetahui kisah malangnya. Tuan Absurdo adalah kelinci percobaan yang dibuang dari laboratorium karena dianggap gagal, dan malah menjadi spesies yang membahayakan.
Asalnya ia adalah kecoak hutan yang dicoba untuk diinseminasikan dengan kumbang tanduk dan belalang. Struktur tubuhnya memang masih mengalami beberapa kekurangan, tetutama pada kaki-kakinya yang lemah. Namun kesalahan fatal timbul pada kedua capit berukuran besar yang jadi mengandung racun. Dan dengan struktur ruas yang membuat badannya tengadah, capit-capit itu semakin berbahaya karena tidak dapat dikendalikan.
Tuan Absurdo diboyong oleh Natalia yang sok tahu di dalam sebuah plastik kresek. kemudian dengan sembrono terjatuh di muka dapur. Sapu Bi Ipah pun menyeretnya ke dekat tempat sampah.
Capit-capitnya yang tajam bergesekan dengan plastik tersebut sampai sobek, dan akhirnya ia dapat meloloskan diri keluar dengan susah payah. Beberapa warga lalu menemukannya dan melaporkan pada Ayah. Awalnya aku tidak terlalu yakin pada Tuan Absurdo, tapi lama kelamaan aku menyadari bahwa di balik fisiknya yang mengerikan, dia memiliki hati yang tulus.
Aku jadi sering menemaninya bercakap-cakap pada malam hari. walau dituntut kesabaran tinggi untuk dapat mengerti ucapannya.
“Om Absurdo...”
“Yha... Rheckhoo...”
“Kalau Om memiliki capit yang berbahaya, kenapa Om tidak berusaha menyerang kecoak-kecoak yang menemukan Om waktu itu? Bagaimana Om tahu itu musuh atau bukan? Bukannya kita cenderung menjauhi yang bukan sesamanya?”
Tuan Absurdo terkekeh. “Ithruuu bcthriuull...tzhrapiii...” dan dengan terbata-bata ia menjelaskan sesuatu yang membuatku bertambah iba.
Tuan Absuido ternyata telah menyaksikan beberapa temannya yang sama-sama dijadikan monster dipaksa untuk menggunakan capitnya, yakni dengan memberikan rangsangan kuat agar racun itu termuntahkan keluar.
Betapa pilu hatiku setelah tahu bahwa racun yang keluar nanti adalah seluruh cairan tubuhnya sendiri, sehingga Tuan Absurdo pasti akan mati sesudah melakukannya.
“Apakah racun itu sangat berbahaya. Oom?” Dia menggeleng. “Thrrtiidhak iheilallruuu...” kemudian dijelaskannva bahwa racun itu hanya sejenis racun pelumpuh mangsa yang akan membuat mangsa itu tidak bisa bergerak. Tetapi pada manusia, racun itu memberi sensasi terbakar pada kulit dan kaku pada otot yang membuat orang itu pastinya sangat kesakitan.
Aku tertegun. Sepertinya aku dapat mereka-reka rencana Ayah kini. “Dan Om akan melakukannya demi Ayah saya?”
Tuan Absurdo menggeleng lagi dan tampaknya ia tersenyum. 'Thrriidaakz... tdtraapiii unthruukhuu...'
Hatiku dirembesi haru. Tuan Absurdo tidak kuat lebih lama tersiksa dengan keadaan tubuhnya yang tak sanggup beradaptasi dengan ekosistem, dan ia juga tak punya teman-teman spesies sejenis.
“Siapa yang akan Om sengat?”
“Dhraaarrviidz...”
Hari yang dinanti-nantikan seluruh warga kerajaan telah tiba. Subuh-subuh, dengan bantuan kawanan semut yang bersahabat, diboyonglah Tuan Absurdo ke dalam laci meja belajar David yang memang selalu dibiarkan setengah terbuka.
Setelah semua siap diatur, Ayah memberi salam terakhir untuk pahlawan perangnya. Absurdo, atas nama Kerajaan Kecoak Dapur, aku mengucapkan terima kasih untuk pengorbanan yang tak terhingga ini, dengan sungguh-sungguh Ayah berkata.
Tuan Absurdo mengangguk sembari menerbitkan senyum memelas, dan dengan lemah melambaikan kaki kecilnya. “Rheekhooo...” panggilnya padaku.
“Om Absurdo.” sahutku tercekat menahan sedih. Ku-pandangi wajah belalangnya yang lugu. dan kugapai-gapaikan sungutku untuk meraih kakinya yang melambai-lambai, la senang sekali menerima balasan itu, wajahnya yang ramah kian berseri. Rasanya tak sanggup lagi aku di sana. Kususul Mami Vin yang juga meninggalkan tempat prosesi.
“Ada apa dengan Hunter. apakah dia tidak mengerti bahwa semua usahanya ini sia-sia?” keluh ibu tiriku.
“Memangnya kenapa?”
“Dia pikir manusia akan mengerti aksinya, padahal kita hanya akan semakin dimusuhi dan dibasmi. Apalagi kalau ada dari anak mereka yang terluka. Hunter tidak mau terima kalau kita ini ras perlu balas dendam. Setiap makhluk sudah punya tugasnya masing-masing... ikan arowana, kita, keluarga Haryono... kenapa malah jadi dibuat perang?” Mami Vin menunduk semakin dalam.
“Semua ini hanya akan mendatangkan duka. Rico.”
***
Sementara yang lain sibuk mempersiapkan diri untuk menyaksikan peristiwa monumental itu, aku memilih pergi ke kamar Sarah. Bersembunyi di balik tirai seperti biasa. Karena sesungguhnya hari ini adalah hari yang sangat istimewa
Sarah berulang tahun yang ke-15. Pagi ini ia tampak sangat cantik, mematut-matut dirinya dalam gaun putih untuk pesta kecilnya nanti malam.
Tante Haryanto yang lewat di depan pintu berceletuk,
“Cantik sekali anak Mami, seperti puteri.”
Sarah tertawa lepas. Dan ketika ibunya berlalu, ia berbicara sendiri pada cermin, “Masa seperti begini dibilang puteri?”
Dia memang rendah hati. Betapa aku ingin ikut-ikutan berseru, kalau aku setuju seratus persen dengan Tante Haryanto. Sarah benar-benar seorang puteri. Tercantik sejagat raya! Dan aku... akulah pangerannya!
Pangeran Rico de Coro!
Nyaris aku lepas kendali dan menampakkan diri. Selintas bayanganku tertangkap di cermin itu. Bayangan Rico de Coro. Pangeran serangga yang hitam, kecil, jelek, dan bau. Mana mungkin aku bisa seputih dan sebersih gaun yang dikenakannya, atau cukup tampan untuk menjadikan kami pasangan yang serasi. Aku hanya makhluk bersungut yang tinggal di bagian terkotor di rumahnya, dengan kepala penuh impian konyol yang hanya membuat orang tuaku kecewa.
Kulihat Sarah terperanjat. Begitu pula aku yang kaget sendiri mendengar bunyi sayap bergetar menggesek tirai. Ternyata sayapku mulai dewasa, tak lama lagi aku akan bisa terbang seperti Ayah.
Sarah yang telanjur takut, buru-buru keluar. “David...Bi Ipah... Kak Lia... Mami...” ia langsung memanggil bala bantuan. Betapa menyesalnya aku sudah mengagetkan Sarah. Kususul dia diam-diam lewat jalur kabel di tembok.
“David... David! Tolong! Ada kecoak di kamarku!”
Sarah mengguncang-guncangkan badan abangnya.
David terlonjak bangun. “Benar-benar kecoak?” tanyanya serius.
Natalia langsung menerobos masuk dan bertanya tegang, “Kecoak? Kecoak macam apa?”
Sarah memandangi mereka berdua, bingung bercampur curiga. “Memangnya, ada kecoak seperti apa lagi?”
“Sarah. coba ingat-ingat, warna kecoak yang kamu lihai bagaimana? Sungutnya panjang atau pende? Terus, badannya kelihatan aneh, nggak?” Natalia berusaha bertanya setenang mungkin, tapi Sarah semakin ketakutan dibuatnya.
“Ada capitnya?” David menambahkan, kelepasan.
“Capit?!” Sarah tak sanggup lagi membayangkan betapa mengerikan makhluk yang ditanyakan kedua kakaknya.
Sekujur tubuhnya gemetar seperti orang menggigil.
“Ada tidak?”
Sarah hanya bisa melongo memandangi David, pikiran-nya sudah kacau. “Tidak tahu, tidak jelas, tidak tahuuu!” teriaknya kalap.
Ayo, kita lihat sama-sama! David bangkit berdiri dan bergegas. “Sarah, cepat ambil senter di laci mejaku!”
Seluruh tubuhku berdesir mendengarnya. Dengan kepanikan Sarah, akan semakin kuatlah rangsangan bagi Tuan Absurdo yang sudah menanti di dalam laci meja David.
Petruk yang mendampingi Absurdo di dalam laci, mulai merasakan getaran-getaran mendekat. “Siap-siap, Absurdo. Sebentar lagi...”
Sarah menarik laci itu dengan grasak-grusuk. jari-jarinya gemerar hebat.
Absurdo menarik napas, la sudah siap sekarang.
Aku tak ingat apa-apa lagi selain putihnya gaun Sarah yang tak boleh dicemarkan air mata, dan tawa lepasnya yang tak kubiarkan berubah menjadi erangan kesakitan.
Sayap mudaku bergerak dan bergerak secepat mungkin. Mendarat lebih cepat daripada jemari mungilnya. Dan, oh, wajah Tuan Absurdo terasa dekat sekali, menatapku tak percaya. Kudengar ia merintih halus, “Phaaa-ngerraaan... muddauaaahh...”
Badan Tuan Absurdo seketika mengempis. Tak ada lagi yang berarti selain kedua capit kokohnya yang telah merobek badanku. Kurasakan tubuhku mengembang oleh cairan racun yang kuisap. Tak ada nyeri, aku hanya mematung.
Sayup-sayup terdengar Sarah menjerit. “Itu kecoaknya...ITU!”
Secepat kilat David menyambar sendai jepit dan melibaskannya. Pukulan itu memuncratkan sebagian isi tubuhku hingga mengotori lacinya.
“Aaah! Laciku... laciku!” teriak David panik. Dengan sapu lidi ia mencongkelku keluar, siap melibasku lagi.
“Tunggu!” teriak Natalia teraya menahan tangan David. Gadis itu membalikkan tubuhku dan dilihatnyalah sosok buronan yang selama ini dicari-carinya... Absurdo!
Natalia terpekik pelan “Ini mutan yang kuceritakan itu. Dan kecoak ini... berarti kecoak ini...”
Entah kesaktian apa yang dikandung racun Tuan Absurdo, yang jelas tak kurasakan nyeri sama sekali walau tubuhku sudah remuk. Dan karena sebagian racun itu sudah keluar dari tubuhku yang rusak, perlahan aku merasakan kaki-kakiku lagi,., menggerakkannya untuk sekali lagi mendekat pada Sarah... menatap wajah malaikatnya...
“David! Kecoaknya masih hidup!”
Inilah teriakan Sarah yang terakhir kali kudengar, sebelum riwayatku tamat di bawah sendal karet David yang memukulku berulang-ulang tanpa ampun. Dan untuk terakhir kalinya, hatiku menjerit dan berdoa pada leluhur, dewa-dewi serangga, dan siapa pun di sana... izinkan aku menemui puteri impianku. Sekali saja.
Natalia diam termangu. Matanya nanar memandangi tubuhku yang sudah tak terbentuk. “Tapi. kecoak itu yang sudah menyelamatkan kamu. Sarah.” bisiknya.
Sejenak kamar itu sunyi. Suara gusar David lalu mematahkan hening cipta mereka. “Kecoak tetap saja kecoak! Dia cuma kebetulan terbang dan masuk laci. Dasar sial saja. makanya langsung menabrak mutan itu. Mati!” la lalu beranjak pergi untuk mengambil kain pel.
Sementara itu, Petruk yang berhasil lolos lari tunggang-langgang menuju Kerajaan, la pasti memilih ikut remuk dihantam sendal daripada menghadap Ayah.
Ketika sampai, ia menemukan Sang Raja, Hunter, tengah memandang hampa ke luar istana. Dunia yang berusaha ia taklukkan dan ia beri pelajaran.
“Yang Mulia... Pangeran muda kita...” di antara sedu sedannya Petruk mencoba berbicara. Namun Ayah sudah melihat semuanya.
Di bilik istana. Vinolia juga tengah menangisi nasibku. Menangisi semua kenangan dan semua mimpi yang selalu kuceritakan padanya. Mami Vin pasti tak mengira betapa besar cintaku pada Sarah sehingga aku rela memberikan nyawaku hanya agar gadis itu tidak disakiti. Aku rela melepaskan semua, termasuk tampuk Kerajaan Kecoak Dapur.
Aku merasakan diriku mengawang-awang. Tidak tahu apa bentuknya. Aku tak bisa lagi berbicara, tidak kepada diriku sekalipun. Tinggallah aku sebagai sebentuk kesadaran, sebuah permohonan, yang kini melayang-layang dalam dimensi nonmateri. Tidak ada waktu. Tidak ada ruang. Tidak ada wujud. Tidak ada pangeran serangga yang hitam, kecil, jelek, dan bau.
Kumasuki labirin pikiran Sarah dan melebur di sana.
***
“Kakak...”
Sayup-sayup kudengar suara merdunya memanggil Natalia yang baru saja bangun pagi.
“Kamu kenapa?” tanya Natalia bingung.
“Tadi malam aku mimpi jadi puteri.” senyum Sarah mengembang, tersipu-sipu. “Aku bertemu dengan pangeran. Namanya Rico de Coro, lalu kami jalan-jalan, berdansa, dia cium pipiku dan bilang selamat ulang tahun.”
Sesuatu mengusik Natalia. Rico de Coro... nama yang tidak asing, tapi ia tak berhasil mengingat jelas, dan sepertinya tidak juga Sarah.
Tidak apa-apa. Aku bahagia. Misiku selesai.
Wujudku sebagai sebuah kesadaran akan segera berakhir. Sebentar lagi aku keluar dari labirin pikiran Sarah. Giliranku bergabung dengan ruh-ruh nenek moyang yang sudah lama menunggu... Ibu! Aku akan menemuinya, bercerita tentang masa kecilku tanpanya di dalam meja kayu.
-END-
Sangat menarik untuk dilihat, satu yang terbaik Aplikasi film drama korea tinggal Download aplikasi drama korea secara gratis dilayar smartphone kamu hanya dengan Download MYDRAKOR di Googleplay, gratis bisa nonton dimana dan kapan saja.
BalasHapushttps://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main
https://www.inflixer.com/