Aku
dan Hujan
Pelangi.. Pelangi.. Alangkah
indahmu..
Merah kuning hijau di langit yang
biru
Pelukismu Agung siapa gerangan
Pelangi.. Pelangi.. ciptaan tuhan.
Aku tidak suka mendengar lagu itu. Saat
di sekolah dasar, aku selalu menutup telinga ketika teman – temanku menyanyikan
lagu yang berhubungan dengan hujan. Aku tahu bahwa dunia ini memerlukan hujan.
Aku tidak membenci hujan, hanya saja aku mempunyai kenangan buruk tentang
hujan. Pelangi itu muncul setelah hujan, tetapi hujan itu telah merenggut sesuatu
yang berharga dariku. Sejak itu aku tidak mau melihat hujan, meskipun setelah
hujan akan muncul pelangi yang indah. Pelangi itu, tidak dapat mengembalikan
apa yang telah hujan ambil dariku.
Aku anak kedua dari dua bersaudara. Aku
lahir dari keluarga yang kurang mampu. Alam pun meneteskan air matanya ketika
aku lahir. Seolah alam memberikan pertanda bahwa kelahiranku ini membawa
kesialan. Saat aku dilahirkan, ayahku sedang bekerja di pabrik, ayah rela
meninggalkan pekerjaannya demi menyaksikan diriku lahir ke dunia ini. Aku tak
pernah mengenal ibu dan kakakku. Ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku.
Sedangkan kakakku pergi entah kemana saat dimana hari aku dilahirkan. Katanya
dia tidak mau membebani keluarga—setidaknya itu yang ayah katakan padaku.
Hanya ada sebingkai foto peninggalan.
Dalam foto itu, terdapat seorang gadis kecil yang sangat manis. Dia mengenakan
baju berwarna pink. Rambutnya yang lurus, dikuncir dua ke samping. Senyumnya
yang masih polos, membuatnya bertambah cantik. Di sebelah kanan gadis itu,
terdapat laki – laki yang mengenakan kemeja putih. Senyumnya yang hangat,
memancarkan kebahagiaan yang ia rasakan. Sedangkan di sebelah kiri gadis
tersebut, terdapat wanita cantik. Kepalanya ditutupi hijab yang warnanya senada
dengan bajunya. Itu adalah foto keluargaku—yang bahagia—sebelum ada diriku.
Bima
Bima Bachtiar. Itulah namaku. Sekarang,
aku menjadi anak tunggal ayahku. Sekarang aku hanya hidup berdua dengan ayahku.
Sekarang, ayah bekerja dengan juragan meubel. Pekerjaan yang dilakukan ayah,
cukup untuk hidup sehari – hari dan membiayai sekolahku saat masih SD.
Sebenarnya aku yang merengek untuk minta sekolah, sampai ayah rela kerja sampai
malam untuk sekolahku. Setiap pagi, aku melihat anak – anak seusiaku berangkat
ke sekolah dengan mengenakan seragam. Sampai suatu hari, aku ingin menjadi
seperti anak – anak lainnya.
“Ayah,
aku ingin sekolah.” Pintaku pada ayah.
“Kamu
belum waktunya sekolah, Nak.” Kata ayah menghiburku.
“Tapi
teman – temanku yang lain sudah peri ke sekolah tiap pagi.”
Ayah
memelukku dan berkata “Ayah masih belum punya uang untuk membiayai sekolahmu.”
Ayah melepaskan pelukannya dan mengelus pipiku dengan kedua tangannya yang
kasar. “Nanti, kalau ayah sudah punya uang, kamu pasti akan sekolah.”
Dan akhirnya, setelah mendengar permintaanku
itu, ayah banting tulang mencari pekerjaan demi menyekolahkanku. Sampai
akhirnya ayah bekerja pada seorang juragan meubel. Dan dari penghasilannya itu,
aku bisa menuntut ilmu seperti teman – temanku yang lainnya.
Saat aku berada di jenjang SMP, aku
sering meninggalkan sekolahku. Kadang aku tertidur di kelas saat pelajaran
berlangsung. Dan hasilnya, aku sering dihukum di depan kelas. Setelah pulang
sekolah, aku pergi ke tempat kerja ayah. Aku sering membantunya bekerja
meskipun tidak mendapat bayaran. Bila ada pasokan kayu yang datang, aku akan
membantu menurunkannya. Kadang, aku berkeliling melihat pengrajin – pengrajin
kayu yang ada di sepanjang ruas jalan Desa Bukir. Jika sedang tidak membantu
ayah, aku melihat pengarajin di sebelah tempat ayah bekerja. Orangnya sangat
baik, ia mengizinkanku untuk melihat cara membuat kerajinan kayu.
Sekolahku hanya berhenti sampai SMP
saja. Penghasilan ayahku, sudah tidak bisa lagi membiayai sekolahku ke jenjang
berikutnya. Aku pun tidak sampai hati untuk menyusahkan ayahku lagi.
Akhirnya aku bekerja menjadi tukang
kebun di sebuah sekolah SMA swasta. Kadang, saat aku lewat di depan setiap
kelas untuk membersihkan tempat sampah, aku sering mendengar guru yang
mengucapkan istilah yang asing bagiku seperti integral, logaritma, torsi, dan
masih banyak lagi. Saat pagi – pagi aku membersihkan kelas, terdapat banyak
angka dan rumus di papan tulis yang tidak aku mengerti, dan akhirnya aku akan
merenung lama dan melihat tulisan – tulisan tersebut. Aku sangat ingin melanjutkan
sekolahku, tapi aku tidak mau sampai mnyusahkan ayah lagi.
Aku pernah meminta ayah untuk membawakan
sisa – sisa kayu yang tidak terpakai dari tempat kerja ayah. Bos ayah juga
tidak melarangnya karena kayunya sudah tidak dibutuhkan.
Aku bekerja di sekolah hanya beberapa
jam. Dan ayah sekarang juga tidak memperbolehkanku untuk ikut ke tempat
kerjanya. Untuk mengisi waktu luang, aku membuat kerajinan dari kayu – kayu
sisa. Awalnya aku membuat kerajinan tersebut hanya untuk kesenanganku. Tapi
suatu hari, seorang tetangga yang juga temanku datang ke rumah.
“Tidak
biasanya kamu kesini. Ada apa?” tanyaku.
“Aku
disuru mengantarkan jahitan ini.” Kata Ainur.
“Mari
masuk. Aku mengambil uang dulu.” Ajakku.
Setelah aku kembali dari mengambil uang,
Ainur melihat – melihat beberapa kerajinan yang aku buat.
“Kamu
membuatnya sendiri?” tanya Ainur.
“Iya.”
Jawabku singkat.
“Kamu
berbakat Bima. Sebentar lagi akan diadakan pameran seni. Lukisan, ukiran,
kerajinan tangan, semuanya. Kamu bisa ikut.” Kata Ainur antusias.
“Ah
masak karya seperti ini bisa dimasukkan dalam pameran?” kataku merendah.
“Tentu
bisa. Ini sangat bagus. Aku akan mendaftarkanmu untuk ikut pameran itu. Aku
pulang dulu ya.” Ainur langsung pulang dari rumahku.
Aku tidak menganggap serius perkataan
Ainur, karena menurutku karyaku itu hanya sederhana dan tidak mungkin masuk
dalam pameran. Aku tidak memikirkan perkataan Ainur lagi sampai hari itu. Hari
itu Ainur datang ke rumah dan menunjukkan keseriusannya. Ainur ke rumah untuk mengambil kerajinan yang aku
buat.
Setelah acara pameran itu sering ada
orang yang memesan kerajinan dariku. Seiring waktu, orang yang memesannya
bertambah banyak. Bisa dibilang aku menjadi wirausaha. Meskipun banyak uang
yang aku hasilkan dari kerajinan itu, aku tetap bekerja sebagai tukang kebun.
Karena aku sangat ingin sekolah. Meskipun aku tidak dapat ikut belajar bersama
murid yang lain, aku senang melihat mereka belajar.
Kabar kerajinanku sudah sampai di
telinga majikan ayahku. Majikan ayah sampai memperingatkan ayah.
“Apa
yang dilakukan anakmu itu? Apa dia mau membuatku bangkrut?” kata majikan ayah.
“Dia
hanya membuat kerajinan kecil. Tidak akan sampai merugikan Anda.” kata Ayah.
“Mulai
sekarang jangan pernah mengambil kayu lagi dari tempatku. Dan suru anakmu itu
berhenti atau kau aku pecat.”
Sejak saat itu aku berusaha untuk
menolak pesanan. Namun ada beberapa orang yang memaksa dan akhirnya aku
menurutinya. Aku tetap menerima pesanan kerajinan meskipun tidak sebanyak dulu.
Aku tidak mau membuat ayah dalam masalah. Aku tahu gaji ayah tiap bulan
dipotong untuk melunasi hutangnya. Hutang untuk membiayai sekolahku dulu. Oleh
karena itu aku mengalah demi ayah.
Majikan ayah bukanlah orang sembarangan.
Dia akan melakukan apapun kepada seseorang yang mengancam bisnisnya. Terakhir
kali, Paman Robi masuk rumah sakit karena tidak menuruti perintah dari majikan
ayah. Aku tidak mau ayah ataupun aku mengalami hal yang sama. Jadi aku tetap ke
sekolah sampai siang dan mengerjakan kerajinan jika ada pesanan.
Suatu hari, saat sudah waktunya pulang
turun hujan deras. Aku tetap berada di sekolah sampai hujan reda. Sampai
seorang guru menghampiriku.
“Mas,
kok belum pulang? Sekolah sudah bersih bukan?” tanya guru tersebut.
“Saya
menunggu hujan reda.” Jawabku.
“Saya
ada payung. Kalau mau dipinjam boleh.” Kata guru tersebut menawariku.
“Tidak
terimakasih. Saya tidak suka berada di bawah hujan. Biar saya menunggu hujan
reda. Sekali lagi terimakasih atas tawarannya, Pak.” Jawabku dengan sopan.
Setelah hujan reda, hari sudah sore. Aku
segera bergegas pulang takutnya ayah akan mencemaskanku. Saat akan menuju
rumah, terlihat keramaian di jalan. Aku ingin tahu apa yang sedang terjadi. “Wonten nopo niki, Pak.” Tanyaku dengan
sopan kepada seseorang.
“Niki
loh Mas, Wonten kecelaaan.” Jawab orang tersebut. Saat aku mendekat,
seseorang yang sedang membungkuk dan ikut mengerumuni orang yang kecelakaan
tersebut memanggilku. Dan aku mengenalinya sebagai Paman Sofi, teman kerja
ayahku. “Bima, Ayahmu sudah tiada.” Hanya itu yang keluar dari mulut Paman
Sofi. Akuhanya terdiam kaku setelah mendengarnya.
“Ayahmu bilang akan menjemputmu. Tapi
jalanan licin dan dia jatuh dari sepedanya, dan dari belakang melaju sepeda
motor kencang dan menabrak Ayahmu yang sudah terjatuh.” Jelas Paman Sofi. Paman
Sofi hendak merangkulku tapi aku menepisnya dan lari. Lari kemanapun kaki ini
membawaku. Hujan mulai turun lagi, aku sudah tidak peduli lagi pada hujan.
Sekarang, hujan juga telah mengambil satu – satunya orang yang aku punya di
dunia ini. Dan itu juga karena aku. Entah sampai kapan aku akan berhenti
membawa kesialan. Hujan sepertinya tak pernah mau bersimpati padaku.
“Dari dulu hujan selalu mengambil apa
yang aku punya. Kenapa hujan juga tidak membunuhku? Dan menghentikan pembawa
kesialanku ini?”
Sampai malam tiba, hujan juga belum
reda. Aku juga masih enggan untuk pulang. Aku tidak mau jika aku pulang nanti,
akan melihat ayah yang sudah terbujur kaku. Aku terus berjalan, entah kemana.
Aku hanya mengikuti kemanapun kakiku melangkah. Melangkah di bawah hujan yang
aku benci. Sekarang aku benar – benar benci pada hujan.
Saat aku melangkah, tiba – tiba kepalaku
terasa ditutup dengan kain dan aku diseret oleh tangan yang kekar. Aku meronta
dan berteriak, tapi sepertinya tak ada orang disekitarku kecuali orang yang
menyeretku.
Hal terakhir yang kurasakan, perutku
seperti ditusuk. Aku merasakan sakitnya dan semuanya gelap. Sebelum aku benar –
benar kehilangan kesadaran, aku masih bisa merasakan tetesan hujan mengalir
diatas wajahku. Tetesan kebencian. Dan saat aku sudah di atas sana, aku sadar bahwa
Tuhan mengabulkan doaku. Hujan telah mengambilku dari dunia ini dengan
perantara seseorang yang kusebut malaikat maut.
~THE END~
0 komentar:
Posting Komentar