Selasa, 15 September 2015

Cerpen "Aku dan Hujan"

Aku dan Hujan
Pelangi.. Pelangi.. Alangkah indahmu..
Merah kuning hijau di langit yang biru
Pelukismu Agung siapa gerangan
Pelangi.. Pelangi.. ciptaan tuhan.
Aku tidak suka mendengar lagu itu. Saat di sekolah dasar, aku selalu menutup telinga ketika teman – temanku menyanyikan lagu yang berhubungan dengan hujan. Aku tahu bahwa dunia ini memerlukan hujan. Aku tidak membenci hujan, hanya saja aku mempunyai kenangan buruk tentang hujan. Pelangi itu muncul setelah hujan, tetapi hujan itu telah merenggut sesuatu yang berharga dariku. Sejak itu aku tidak mau melihat hujan, meskipun setelah hujan akan muncul pelangi yang indah. Pelangi itu, tidak dapat mengembalikan apa yang telah hujan ambil dariku.
Aku anak kedua dari dua bersaudara. Aku lahir dari keluarga yang kurang mampu. Alam pun meneteskan air matanya ketika aku lahir. Seolah alam memberikan pertanda bahwa kelahiranku ini membawa kesialan. Saat aku dilahirkan, ayahku sedang bekerja di pabrik, ayah rela meninggalkan pekerjaannya demi menyaksikan diriku lahir ke dunia ini. Aku tak pernah mengenal ibu dan kakakku. Ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku. Sedangkan kakakku pergi entah kemana saat dimana hari aku dilahirkan. Katanya dia tidak mau membebani keluarga—setidaknya itu yang ayah katakan padaku.
Hanya ada sebingkai foto peninggalan. Dalam foto itu, terdapat seorang gadis kecil yang sangat manis. Dia mengenakan baju berwarna pink. Rambutnya yang lurus, dikuncir dua ke samping. Senyumnya yang masih polos, membuatnya bertambah cantik. Di sebelah kanan gadis itu, terdapat laki – laki yang mengenakan kemeja putih. Senyumnya yang hangat, memancarkan kebahagiaan yang ia rasakan. Sedangkan di sebelah kiri gadis tersebut, terdapat wanita cantik. Kepalanya ditutupi hijab yang warnanya senada dengan bajunya. Itu adalah foto keluargaku—yang bahagia—sebelum ada diriku.
Bima
Bima Bachtiar. Itulah namaku. Sekarang, aku menjadi anak tunggal ayahku. Sekarang aku hanya hidup berdua dengan ayahku. Sekarang, ayah bekerja dengan juragan meubel. Pekerjaan yang dilakukan ayah, cukup untuk hidup sehari – hari dan membiayai sekolahku saat masih SD. Sebenarnya aku yang merengek untuk minta sekolah, sampai ayah rela kerja sampai malam untuk sekolahku. Setiap pagi, aku melihat anak – anak seusiaku berangkat ke sekolah dengan mengenakan seragam. Sampai suatu hari, aku ingin menjadi seperti anak – anak lainnya.
“Ayah, aku ingin sekolah.” Pintaku pada ayah.
“Kamu belum waktunya sekolah, Nak.” Kata ayah menghiburku.
“Tapi teman – temanku yang lain sudah peri ke sekolah tiap pagi.”
Ayah memelukku dan berkata “Ayah masih belum punya uang untuk membiayai sekolahmu.” Ayah melepaskan pelukannya dan mengelus pipiku dengan kedua tangannya yang kasar. “Nanti, kalau ayah sudah punya uang, kamu pasti akan sekolah.”
Dan akhirnya, setelah mendengar permintaanku itu, ayah banting tulang mencari pekerjaan demi menyekolahkanku. Sampai akhirnya ayah bekerja pada seorang juragan meubel. Dan dari penghasilannya itu, aku bisa menuntut ilmu seperti teman – temanku yang lainnya.
Saat aku berada di jenjang SMP, aku sering meninggalkan sekolahku. Kadang aku tertidur di kelas saat pelajaran berlangsung. Dan hasilnya, aku sering dihukum di depan kelas. Setelah pulang sekolah, aku pergi ke tempat kerja ayah. Aku sering membantunya bekerja meskipun tidak mendapat bayaran. Bila ada pasokan kayu yang datang, aku akan membantu menurunkannya. Kadang, aku berkeliling melihat pengrajin – pengrajin kayu yang ada di sepanjang ruas jalan Desa Bukir. Jika sedang tidak membantu ayah, aku melihat pengarajin di sebelah tempat ayah bekerja. Orangnya sangat baik, ia mengizinkanku untuk melihat cara membuat kerajinan kayu.
Sekolahku hanya berhenti sampai SMP saja. Penghasilan ayahku, sudah tidak bisa lagi membiayai sekolahku ke jenjang berikutnya. Aku pun tidak sampai hati untuk menyusahkan ayahku lagi.
Akhirnya aku bekerja menjadi tukang kebun di sebuah sekolah SMA swasta. Kadang, saat aku lewat di depan setiap kelas untuk membersihkan tempat sampah, aku sering mendengar guru yang mengucapkan istilah yang asing bagiku seperti integral, logaritma, torsi, dan masih banyak lagi. Saat pagi – pagi aku membersihkan kelas, terdapat banyak angka dan rumus di papan tulis yang tidak aku mengerti, dan akhirnya aku akan merenung lama dan melihat tulisan – tulisan tersebut. Aku sangat ingin melanjutkan sekolahku, tapi aku tidak mau sampai mnyusahkan ayah lagi.
Aku pernah meminta ayah untuk membawakan sisa – sisa kayu yang tidak terpakai dari tempat kerja ayah. Bos ayah juga tidak melarangnya karena kayunya sudah tidak dibutuhkan.
Aku bekerja di sekolah hanya beberapa jam. Dan ayah sekarang juga tidak memperbolehkanku untuk ikut ke tempat kerjanya. Untuk mengisi waktu luang, aku membuat kerajinan dari kayu – kayu sisa. Awalnya aku membuat kerajinan tersebut hanya untuk kesenanganku. Tapi suatu hari, seorang tetangga yang juga temanku datang ke rumah.
“Tidak biasanya kamu kesini. Ada apa?” tanyaku.
“Aku disuru mengantarkan jahitan ini.” Kata Ainur.
“Mari masuk. Aku mengambil uang dulu.” Ajakku.
Setelah aku kembali dari mengambil uang, Ainur melihat – melihat beberapa kerajinan yang aku buat.
“Kamu membuatnya sendiri?” tanya Ainur.
“Iya.” Jawabku singkat.
“Kamu berbakat Bima. Sebentar lagi akan diadakan pameran seni. Lukisan, ukiran, kerajinan tangan, semuanya. Kamu bisa ikut.” Kata Ainur antusias.
“Ah masak karya seperti ini bisa dimasukkan dalam pameran?” kataku merendah.
“Tentu bisa. Ini sangat bagus. Aku akan mendaftarkanmu untuk ikut pameran itu. Aku pulang dulu ya.” Ainur langsung pulang dari rumahku.
Aku tidak menganggap serius perkataan Ainur, karena menurutku karyaku itu hanya sederhana dan tidak mungkin masuk dalam pameran. Aku tidak memikirkan perkataan Ainur lagi sampai hari itu. Hari itu Ainur datang ke rumah dan menunjukkan keseriusannya. Ainur  ke rumah untuk mengambil kerajinan yang aku buat.
Setelah acara pameran itu sering ada orang yang memesan kerajinan dariku. Seiring waktu, orang yang memesannya bertambah banyak. Bisa dibilang aku menjadi wirausaha. Meskipun banyak uang yang aku hasilkan dari kerajinan itu, aku tetap bekerja sebagai tukang kebun. Karena aku sangat ingin sekolah. Meskipun aku tidak dapat ikut belajar bersama murid yang lain, aku senang melihat mereka belajar.
Kabar kerajinanku sudah sampai di telinga majikan ayahku. Majikan ayah sampai memperingatkan ayah.
“Apa yang dilakukan anakmu itu? Apa dia mau membuatku bangkrut?” kata majikan ayah.
“Dia hanya membuat kerajinan kecil. Tidak akan sampai merugikan Anda.” kata Ayah.
“Mulai sekarang jangan pernah mengambil kayu lagi dari tempatku. Dan suru anakmu itu berhenti atau kau aku pecat.”
Sejak saat itu aku berusaha untuk menolak pesanan. Namun ada beberapa orang yang memaksa dan akhirnya aku menurutinya. Aku tetap menerima pesanan kerajinan meskipun tidak sebanyak dulu. Aku tidak mau membuat ayah dalam masalah. Aku tahu gaji ayah tiap bulan dipotong untuk melunasi hutangnya. Hutang untuk membiayai sekolahku dulu. Oleh karena itu aku mengalah demi ayah.
Majikan ayah bukanlah orang sembarangan. Dia akan melakukan apapun kepada seseorang yang mengancam bisnisnya. Terakhir kali, Paman Robi masuk rumah sakit karena tidak menuruti perintah dari majikan ayah. Aku tidak mau ayah ataupun aku mengalami hal yang sama. Jadi aku tetap ke sekolah sampai siang dan mengerjakan kerajinan jika ada pesanan.
Suatu hari, saat sudah waktunya pulang turun hujan deras. Aku tetap berada di sekolah sampai hujan reda. Sampai seorang guru menghampiriku.
“Mas, kok belum pulang? Sekolah sudah bersih bukan?” tanya guru tersebut.
“Saya menunggu hujan reda.” Jawabku.
“Saya ada payung. Kalau mau dipinjam boleh.” Kata guru tersebut menawariku.
“Tidak terimakasih. Saya tidak suka berada di bawah hujan. Biar saya menunggu hujan reda. Sekali lagi terimakasih atas tawarannya, Pak.” Jawabku dengan sopan.
Setelah hujan reda, hari sudah sore. Aku segera bergegas pulang takutnya ayah akan mencemaskanku. Saat akan menuju rumah, terlihat keramaian di jalan. Aku ingin tahu apa yang sedang terjadi. “Wonten nopo niki, Pak.” Tanyaku dengan sopan kepada seseorang.
Niki loh Mas, Wonten kecelaaan.” Jawab orang tersebut. Saat aku mendekat, seseorang yang sedang membungkuk dan ikut mengerumuni orang yang kecelakaan tersebut memanggilku. Dan aku mengenalinya sebagai Paman Sofi, teman kerja ayahku. “Bima, Ayahmu sudah tiada.” Hanya itu yang keluar dari mulut Paman Sofi. Akuhanya terdiam kaku setelah mendengarnya.
“Ayahmu bilang akan menjemputmu. Tapi jalanan licin dan dia jatuh dari sepedanya, dan dari belakang melaju sepeda motor kencang dan menabrak Ayahmu yang sudah terjatuh.” Jelas Paman Sofi. Paman Sofi hendak merangkulku tapi aku menepisnya dan lari. Lari kemanapun kaki ini membawaku. Hujan mulai turun lagi, aku sudah tidak peduli lagi pada hujan. Sekarang, hujan juga telah mengambil satu – satunya orang yang aku punya di dunia ini. Dan itu juga karena aku. Entah sampai kapan aku akan berhenti membawa kesialan. Hujan sepertinya tak pernah mau bersimpati padaku.
“Dari dulu hujan selalu mengambil apa yang aku punya. Kenapa hujan juga tidak membunuhku? Dan menghentikan pembawa kesialanku ini?”
Sampai malam tiba, hujan juga belum reda. Aku juga masih enggan untuk pulang. Aku tidak mau jika aku pulang nanti, akan melihat ayah yang sudah terbujur kaku. Aku terus berjalan, entah kemana. Aku hanya mengikuti kemanapun kakiku melangkah. Melangkah di bawah hujan yang aku benci. Sekarang aku benar – benar benci pada hujan.
Saat aku melangkah, tiba – tiba kepalaku terasa ditutup dengan kain dan aku diseret oleh tangan yang kekar. Aku meronta dan berteriak, tapi sepertinya tak ada orang disekitarku kecuali orang yang menyeretku.
Hal terakhir yang kurasakan, perutku seperti ditusuk. Aku merasakan sakitnya dan semuanya gelap. Sebelum aku benar – benar kehilangan kesadaran, aku masih bisa merasakan tetesan hujan mengalir diatas wajahku. Tetesan kebencian. Dan saat aku sudah di atas sana, aku sadar bahwa Tuhan mengabulkan doaku. Hujan telah mengambilku dari dunia ini dengan perantara seseorang yang kusebut malaikat maut.
~THE END~

0 komentar:

Posting Komentar