Upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM di Indonesia
Dalam upaya menegakkan pengadilan HAM
telah dibentuk pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Dengan munculnya pengadilan HAM diharapkan akan dapat melindungi hak-hak dasar
manusia baik perorangan maupun masyarakat.
Tujuan ideal pengadilan hak asasi
manusia adalah untuk memelihara perdamaian dunia, menjamin hak asasi manusia serta
memberikan perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan perorangan ataupun
masyarakat. Tujuan praktisnya adalah untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat. Oleh karena itu, ruang lingkup kewenangannya meliputi
memeriksa dan memutuskan pelanggaran hak asasi manusia berat, sedangkan
terhadap kejahatan hak asasi manusia berat sebelum undang-undang ini berlaku
ditangani oleh pengadilan hak asasi manusia ad
hoc.
A.
Tata
Cara Penyelesaian Pelanggaran HAM menurut Hukum Acara Peradilan HAM UU No. 26
Tahun 2000
1.
Penyelidikan
Di
dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 merumuskan tentang
penyelidikan yaitu: "Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini." Adapun
pelaksanaan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia diatur di dalam
Pasal 18 yaitu:
1) Penyelidikan
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia.
2) Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak
asasi Manusia dan unsur masyarakat.
Alasan
penyelidikan harus dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dimaksudkan
untuk menjaga obyektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia adalah lembaga yang bersifat independen. Sedangkan anggota
tim ad hoc terdapat unsur masyarakat yaitu merupakan tokoh masyarakat dan
anggota masyarakat yang profesional, berdedikasi, berintegritas tinggi, dan
menghayati di bidang hak asasi manusia. Dalam melaksanakan penyelidikan
sebagaimana dimaksud di atas penyelidik berwenang:
1) Melakukan
penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat
yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak
asasi manusia yang berat.
2) Menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya
pelanggaran hak asasi yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti.
3) Memanggil
pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar
keterangannya.
4) Memanggil
saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya.
5) Meninjau
dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap
perlu
6) Memanggil
pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan
dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
7) Atas
perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
a. Pemeriksaan
surat
b. Penggeledahan
dan penyitaan
c. Pemeriksaan
setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang
diduduki atau dimiliki pihak tertentu.
d. Mendatangkan
ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
Adapun tujuan
daripada penyelidikan adalah untuk mendapatkan atau mengumpulkan keterangan,
bukti atau data-data yang akan digunakan untuk:
a.
Menentukan
apakah suatu peristiwa yang terjadi merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
b.
Siapa
yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap pelanggaran hak asasi tersebut.
c.
Merupakan
persiapan untuk ditindak lanjuti.
Untuk meiakukan
penyelidikan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Dengan melakukan penyelidikan
secara terbuka.
Penyelidikan
dilakukan dengan cara terbuka apabila keterangan- keterangan/data-data atau
bukti-bukti yang diperlukan mudah untuk mendapatkannya dan dengan cara tersebut
dianggap tidak akan mengganggu dan menghambat proses penyelidikan selanjutnya.
Apabila penyelidikan dilakukan secara terbuka, maka penyelidik harus
memperlihatkan tanda pengenal diri yang dibuat oleh Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia
2) Dengan melakukan
penyelidikan secara tertutup.
Apabila
penyelidikan itu dilakukan secara tertutup, penyelidik harus dapat
menghindarkan diri dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan undang-undang yang berlaku.
2.
Penyidikan
Apabila telah
selesai dilakukan penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terhadap
suatu pelanggaran hak asasi manusia dan hasil penyelidikan itu telah dilaporkan
dalam uraian secara rinci, maka apabila dari hasil penyelidikan itu dianggap
cukup bukti-bukti permulaan atau telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana
pelanggaran hak asasi manusia, tahap selanjutnya adalah dilakukan
penindakan/penyidikan oleh penyidik. Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi
manusia diatur di dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 yaitu:
1) Penyidikan perkara pelanggaran
hak asasi manusi yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
2) Penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam (1) tidak termasuk kewenangan menerima laporan atau pengaduan.
3) Dalam pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad
hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat.
4) Sebelum melaksanakan tugasnya,
penyidik ad hoc mengucapkan sumpah dan janji menurut agamanya masing-masing.
Tahap penindakan
adalah tahap penyidikan di mana dimulai dilakukan tindakan-tindakan hukum yang
langsung bersinggungan dengan hak-hak asasi manusia yaitu berupa pembatasan
bahkan mungkin berupa "pelanggaran" hak asasi manusia, yaitu berupa
penahanan.
Tahap ini
dilaksanakan setelah penyidik merasa yakin bahwa telah terjadi suatu
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan untuk memperjelas segala sesuatu
tentang pelanggaran hak asasi itu diperlukan tindakan-tindakan tertentu yang
berupa pembatasan dan "pelanggaran" hak-hak asasi seseorang/kelompok
yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pelanggaran flak asasi yang berat
tersebut.
Dalam melakukan
penyidikan atas laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, maka penyidik mencek
kebenaran laporan tersebut dengan memeriksa di tempat kejadian. Jika laporan
telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia itu benar, maka apabila
si pelaku masih berada di tempat tersebut, penyidik dapat melarang si pelaku
atau tersangka meninggalkan tempat kejadian. Selanjutnya penyidik mengadakan
pemeriksaan-pemeriksaan seperlunya termasuk memeriksa identitas tersangka atau
menyuruh berhenti orang-orang yang dicurigai melakukan pelanggaran hak asasi
manusia dan melarang orang-orang keluar masuk tempat kejadian. Kemudian
penyidik berusaha mencari bukti-bukti yang digunakan untuk melakukan kejahatan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat itu. Apabila pemeriksaan di tempat
kejadian selesai dilakukan dan barang-barang bukti telah pula dikumpulkan, maka
selanjutnya harus disusun suatu kesimpulan sementara bahwa telah terjadi
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam suatu berita acara. Penyidikan
sebagaimana dimaksud di atas harus diselesaikan paling lambat dalam jangka
waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima
dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Apabila jangka dalam jangka waktu
tersebut di atas pelaksanaan penyidikan belum selesai dilakukan, maka jangka
waktu tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh)
hari oleh Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai dengan daerah hukumrtya.
Kalau ternyata setelah perpanjangan waktu selama 90 (sembilan pulu) hari itu
ternyata penyidikan masih belum juga dapat diselesaikan, maka waktu penyidikan
masih dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 60 (enam puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai dengan daerah hukumnya.
Setelah
perpanjangan waktu penyidikan sebagaimana tersebut di atas ternyata penyidik
tidak mendapatkan bukti-bukti yang cukup, maka Jaksa Agung harus mengeluarkan
surat perintah penghentian penyidikan. Apabila tersangka berada dalam
tahanan, maka perlu juga mengeluarkan surat perintah pelepasan dari tahanan.
Apabila surat
perintah penghentian penyidikan telah dikeluarkan, akan tetapi dikemudian hari
ternyata terdapat bukti-bukti atau alasan yang cukup, maka penyidikan dapat
dibuka kembali dalam rangka melengkapi hasil penyidikan yang telah dilakukan
dan selanjutnya dilakukan penuntutan.
Dalam hal
penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud di atas tidak dapat diterima oleh
korban atau keluarganya, maka korban, keluarganya sedarah atau semenda dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak
mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai dengan
daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3.
Penangkapan
Setelah penyidik
menerima laporan dari penyelidik yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
tentang telah terjadinya suatu peristiwa pelanggaran hak asasi manusia, maka
sehagai kelanjutan daripada adanya pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang
atau beberapa orang, apabila penyidik mempunyai dugaan keras disertai
bukti-bukti permulaan yang cukup maka penyidik dapat melakukan penangkapan
terhadap tersangka sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 11 ayat (1)
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 yaitu: "Jaksa Agung sebagai penyidik
berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seorang
yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi yang berat berdasarkan bukti
permulaan yang cukup."
Penangkapan tidak
dapat dilakukan secara sewenang-wenang, karena hal itu melanggar hak asasi
manusia. Untuk menangkap seseorang, maka penyidik harus mengeluarkan surat
perintah penangkapan disertai alasan-alasan penangkapan dan uraian singkat
sifat perkara kejahatan yang dipersangkakan. Tanpa surat perintah penangkapan
tersangka dapat menolak petugas yang bersangkutan. Perintah penangkapan baru
dikeluarkan kalau sudah ada dugaan keras telah terjadi pelanggaran hak asasi
yang berat disertai pula bukti permulaan yang cukup.
Adapun tata cara
melakukan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor
26 Tahun 2000 yaitu:
1) Jaksa Agung sebagai penyidik
berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang
yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan
bukti permulaan yang cukup.
2) Pelaksanaan tugas penangkapan
sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan
surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat
dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran hak asasi yang
berat yang dipersangkakan.
3) Tembusan surat perintah
penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada
keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
4) Dalam hal tertangkap tangan
penangkapan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkapan harus
segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik.
5) Penangkapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari.
6) Masa penangkapan dikurangkan dari
pidana yang dijatuhkan.
Petugas yang akan
melakukan penangkapan harus membawa surat tugas untuk dirinya sendiri dengan
disertai bukti dirinya dan surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh
Jaksa Agung di mana di dalam surat perintah penangkapan tersebut dicantumkan
identitas tersangka yaitu nama, alamat, dengan maksud agar petugas tidak salah
tangkap. Di samping identitas tersangka disebutkan pula alasan-alasannya
sehingga tersangka harus ditangkap disertai uraian singkat perkara pelanggaran
hak asasi yang berat yang dipersangkakan dan tempat tersangka akan diperiksa.
Surat perintah penangkapan tersebut selain diberikan kepada tersangka, maka
tembusannya diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan itu
dilakukan. Dalam hal tertangkap tangan, maka penangkapan dilakukan tanpa surat
perintah. Pengertian daripada tertangkap tangan adalah:
a. Seseorang ditangkap ketika ia sedang
melakukan kejahatan.
b. Seseorang ditangkap tidak lama
setelah kejahatan itu dilakukan.
c. Teriakan masyarakat yang
menunjukkan tersangka sebagai pelaku kejahatan tidak seberapa lama setelah
kejahatan itu dilakukan.
4. Penahanan
Berbeda dengan
penangkapan, dasar penahanan tidaklah cukup atas bukti permulaan yang cukup
saja, akan tetapi penyidik harus mempunyai setidak-tidaknya pembuktian minimum
yang disyaratkan KUHAP, yaitu sekurang-kurangnya telah terdapat 2 alat bukti
yang tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Selain itu KUHAP menentukan pula
syarat untuk dapat melakukan penahanan yang terdiri dari syarat-syarat
subyektif dan syarat obyektif. Syarat subyektif bila penyidik menganggap
keadaan menimbulkan kekhawatiran tersangka akan:
1) Melarikan diri.
2) Merusak atau menghilangkan barang
bukti.
3) Mengulangi melakukan tindak
pidana.
Syarat-syarat subyektif ini
didasarkan pertimbangan serta penilaian semata-mata dari penyidik yang
bersangkutan. Sedangkan syarat obyektif sudah merupakan keharusan bagi penyidik
untuk rnelakukan penahanan, setelah syarat-syarat subjektif dipenuhi, mengingat
ancaman pidana pelanggaran hak asasi manusia diancam dengan hukuman mati.
Sebagai kelanjutan dari
penangkapan terhadap tersangka yang diduga kuat telah melakukan pelanggaran hak
asasi yang berat maka terhadap tersangka dapat dilakukan penahanan sebagaimana
dimaksud Pasal 12 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 yaitu: "Jaksa Agung
sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan." Perintah penahanan
atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga
keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang
cukup, dalam hal ini terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang
bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Selain
dari Jaksa Agung, Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan penetapannya
berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Adapun lamanya penahanan dapat
dilakukan diatur di dalam pasal - pasal berikut ini:
Pasal 13.
1)
Penahanan
untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan selama 90 (sembilan puluh) hari.
2)
Jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya.
3)
Dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum
dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam
puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal
14.
1)
Penahanan
untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
2)
Jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 20 (dua pulu) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya.
3)
Dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penuntutan belum
dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua
puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 15.
1) Penahanan untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan
puluh) hari.
2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukunrnya.
Pasal 16.
1) Penahanan untuk kepentingan
pemetiksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 (enam
puluh) hari.
2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 17.
1) Penahanan untuk kepentingan
pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam
puluh) hari.
2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
oleh Ketua Mahkamah Agung.
3)
B. PEMERIKSAAN DI
SIDANG PENGADILAN
1. Acara Pemeriksaan
Apabila kejahatan pelanggaran hak
asasi manusia ini dilakukan sebelum Undang-undang ini terbentuk atau peradilan
HAM ini terbentuk, maka terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat itu diadili
oleh Peradilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 yaitu:
1) Pelanggaran hak asasi yang berat
yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus
oleh pengadilan HAM ad hoc.
2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.
Peradilan hak asasi manusia tidak
membedakan siapa pelaku kejahatan itu apakah kejahatan itu dilakukan oleh orang
sipil atau anggota militer, maka baik pada tingkat penyelidikan, penyidikan
maupun peradilannya dilakukan dalam lingkup peradilan hak asasi manusia yaitu:
1) Penyelidikan perkara pelanggaran
hak asasi manusia dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
2) Penyidikan terhadap pelanggaran
hak asasi manusia dilakukan oleh Jaksa Agung.
3) Peradilannya dilakukan oleh
Peradilan Hak Asasi Manusia yang berada dalam lingkungan peradilan umum.
Pemeriksaan perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Majelis hakim tersebut harus diketuai oleh hakim dari Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang bersangkutan.
2.
Penuntutan
Penuntutan perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 yaitu:
1) Penuntutan perkara pelanggaran
hak asasi yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
2) Dalam pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum
ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah atau masyarakat. Adapun yang dimaksud
"unsur masyarakat" adalah terdiri organisasi politik, organisasi
kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan yang
lain seperti perguruan tinggi. Sedangkan kata "dapat" mengandung arti
bahwa Jaksa Agung dalam mengangkat penuntut ad hoc dilakukan sesuai denaan
kebutuhan saja. Penuntut umum ad hoc dari unsur masyarakat diutamakan diambil
dari mantan penuntut umum di Peradilan umum atau Oditur Militer pada Peradilan
Militer.
3) Sebelum melaksanakau tugasnya
penuntut umum ad hoc meng- ucapkan sumpah atau janji menurut agamanya
masing-masing.
4) Untuk dapat diangkat menjadi
penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat :
a. Warga negara Republik Indonesia
b. Berumur sekurang-kurangnya 40
(empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun
c. Berpendidikan sarnaja hukum dan
berpengalaman sebagai penutut umum
d. Sehat jasmani dan rohani
e. Berwibawa, jujur, adil dan
berkelakuan tidak tercela
f. Setiap kepada Pancasila dan
Undang-undang 1945
Dalam melakukan
penuntutan sebagaimana dimaksud di atas, maka penuntut wajib melaksanakan
tugasnya paling lambat dalam jangka waktu 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak
tanggal hasil penyidikan diterima. Dalam melaksanakan tugas baik dalam tingkat
penyidikan maupun pada tingkat penuntutan, pelaksanaan tugas tersebut dipantau
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
yaitu:
"Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara
tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat."
Menyimak bunyi
pasal tersebut di atas, maka penuntut umum pada peradilan hak asasi manusia,
harus bekerja dengan sungguhsungguh, karena suatu perkara yang ditanganinya harus
selesai dalam jangka waktu 70 (tujuh puluh) hari. Ketentuan jangka waktu
penyelesaian perkara ini tidak saja diwajibkan kepada penuntut umum, tapi
diwajibkan pula kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana ditentukan
dalam pasal-pasal berikut ini:
Pasal 31.
Perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia
dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak
perkara dilimpahkan ke Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pasal 32.
1)
Dalam
hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke
Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu
paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilirnpahkan ke
Pengadilan Tinggi.
2)
Pemeriksaan
perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan
Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
3)
Jumlah
hakim ad hoc di Pengdilan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang.
4)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29, dan Pasal
30 juga berlaku bagi pengangkutan hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.
Pasal 33.
1)
Dalam
hal perkara pelanggaran hak aaasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke
Mahkamat: Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama
90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.
2)
Pemeriksaan
perkara sebagaimann dimaksud di dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
yang berjumlah 5 (lima) orang terdiri dari atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3
(tiga) orang hakim ad hoc.
3)
Jumlah
hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya
3 (tiga) orang.
4)
Hakim
ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Dewan Perwakilan Rakyar Republik Indonesia.
5)
Hakim
ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diangkat untuk satu kali masa
jabatan selama 5 (lima) tahun.
3.
Ketentuan
Pidana
Dalam ketentuan Undang-Undang
Pengadilan Hak Asasi Manusia dicantumkan ketentuan pidana sebagai berikut :
1. Untuk
pelaku kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan diberikan ancaman hukuman
mati, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan paling
ringan 10 tahun.
2. Untuk
kejahatan penyiksaan diancam dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara dan
minimal 2 tahun penjara
3. Bagi
pelanggar HAM yang berupa kekerasan seksual, penganiayaan SARA dan penghilangan
secara paksa diancam dengan hukuman selama-lamanya 20 tahun penjara dan paling
ringan 10 tahun penjara.
4. Bagi
kejahatan yang dikategorikan percobaan, pemufakatan jahat, atau perbantuan
melakukan pelanggaran HAM yang berat dianggap sebagai tindak pidana yang telah
selesai (sempurna) pelaksanaannya dikenakan penjara sebagai ketentuan diatas.
Demikian
juga seorang komandan militer dapat dimintai pertaanggung jawaban atas
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh pasukannya serta
seorang atasan dapat dimintai pertanggung jawaban atas pelanggaran hak asasi
manusia berat yang dilakukan bawahannya, dengan ancaman hukuman sesuai dengan
ketentuan pidana yang telah disebutkan diatas.
Sangat menarik untuk dilihat, satu yang terbaik Aplikasi film drama korea tinggal Download aplikasi drama korea secara gratis dilayar smartphone kamu hanya dengan Download MYDRAKOR di Googleplay, gratis bisa nonton dimana dan kapan saja.
BalasHapushttps://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main
https://www.inflixer.com/