Senin, 19 Desember 2016

Upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM di Indonesia

Upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM di Indonesia

         Dalam upaya menegakkan pengadilan HAM telah dibentuk pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dengan munculnya pengadilan HAM diharapkan akan dapat melindungi hak-hak dasar manusia baik perorangan maupun masyarakat.
         Tujuan ideal pengadilan hak asasi manusia adalah untuk memelihara perdamaian dunia, menjamin hak asasi manusia serta memberikan perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan perorangan ataupun masyarakat. Tujuan praktisnya adalah untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Oleh karena itu, ruang lingkup kewenangannya meliputi memeriksa dan memutuskan pelanggaran hak asasi manusia berat, sedangkan terhadap kejahatan hak asasi manusia berat sebelum undang-undang ini berlaku ditangani oleh pengadilan hak asasi manusia ad hoc.
A.   Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran HAM menurut Hukum Acara Peradilan HAM UU No. 26 Tahun 2000

1.     Penyelidikan
Di dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 merumuskan tentang penyelidikan yaitu: "Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini." Adapun pelaksanaan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia diatur di dalam Pasal 18 yaitu:
1)      Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
2)      Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak asasi Manusia dan unsur masyarakat.

Alasan penyelidikan harus dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dimaksudkan untuk menjaga obyektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga yang bersifat independen. Sedangkan anggota tim ad hoc terdapat unsur masyarakat yaitu merupakan tokoh masyarakat dan anggota masyarakat yang profesional, berdedikasi, berintegritas tinggi, dan menghayati di bidang hak asasi manusia. Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud di atas penyelidik berwenang:
1)      Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
2)      Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti.
3)      Memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya.
4)      Memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya.
5)      Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu
6)      Memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
7)      Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
a.       Pemeriksaan surat
b.      Penggeledahan dan penyitaan
c.       Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu.
d.      Mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.

Adapun tujuan daripada penyelidikan adalah untuk mendapatkan atau mengumpulkan keterangan, bukti atau data-data yang akan digunakan untuk:
a.       Menentukan apakah suatu peristiwa yang terjadi merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
b.      Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap pelanggaran hak asasi tersebut.
c.       Merupakan persiapan untuk ditindak lanjuti.

Untuk meiakukan penyelidikan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1)      Dengan melakukan penyelidikan secara terbuka.
Penyelidikan dilakukan dengan cara terbuka apabila keterangan- keterangan/data-data atau bukti-bukti yang diperlukan mudah untuk mendapatkannya dan dengan cara tersebut dianggap tidak akan mengganggu dan menghambat proses penyelidikan selanjutnya. Apabila penyelidikan dilakukan secara terbuka, maka penyelidik harus memperlihatkan tanda pengenal diri yang dibuat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
2)      Dengan melakukan penyelidikan secara tertutup.
Apabila penyelidikan itu dilakukan secara tertutup, penyelidik harus dapat menghindarkan diri dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan undang-undang yang berlaku.


2.     Penyidikan

Apabila telah selesai dilakukan penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terhadap suatu pelanggaran hak asasi manusia dan hasil penyelidikan itu telah dilaporkan dalam uraian secara rinci, maka apabila dari hasil penyelidikan itu dianggap cukup bukti-bukti permulaan atau telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia, tahap selanjutnya adalah dilakukan penindakan/penyidikan oleh penyidik. Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia diatur di dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 yaitu:
1)      Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusi yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
2)      Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam (1) tidak termasuk kewenangan menerima laporan atau pengaduan.
3)      Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat.
4)      Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah dan janji menurut agamanya masing-masing.

Tahap penindakan adalah tahap penyidikan di mana dimulai dilakukan tindakan-tindakan hukum yang langsung bersinggungan dengan hak-hak asasi manusia yaitu berupa pembatasan bahkan mungkin berupa "pelanggaran" hak asasi manusia, yaitu berupa penahanan.
Tahap ini dilaksanakan setelah penyidik merasa yakin bahwa telah terjadi suatu pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan untuk memperjelas segala sesuatu tentang pelanggaran hak asasi itu diperlukan tindakan-tindakan tertentu yang berupa pembatasan dan "pelanggaran" hak-hak asasi seseorang/kelompok yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pelanggaran flak asasi yang berat tersebut.
Dalam melakukan penyidikan atas laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, maka penyidik mencek kebenaran laporan tersebut dengan memeriksa di tempat kejadian. Jika laporan telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia itu benar, maka apabila si pelaku masih berada di tempat tersebut, penyidik dapat melarang si pelaku atau tersangka meninggalkan tempat kejadian. Selanjutnya penyidik mengadakan pemeriksaan-pemeriksaan seperlunya termasuk memeriksa identitas tersangka atau menyuruh berhenti orang-orang yang dicurigai melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan melarang orang-orang keluar masuk tempat kejadian. Kemudian penyidik berusaha mencari bukti-bukti yang digunakan untuk melakukan kejahatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat itu. Apabila pemeriksaan di tempat kejadian selesai dilakukan dan barang-barang bukti telah pula dikumpulkan, maka selanjutnya harus disusun suatu kesimpulan sementara bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam suatu berita acara. Penyidikan sebagaimana dimaksud di atas harus diselesaikan paling lambat dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Apabila jangka dalam jangka waktu tersebut di atas pelaksanaan penyidikan belum selesai dilakukan, maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai dengan daerah hukumrtya. Kalau ternyata setelah perpanjangan waktu selama 90 (sembilan pulu) hari itu ternyata penyidikan masih belum juga dapat diselesaikan, maka waktu penyidikan masih dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai dengan daerah hukumnya.
Setelah perpanjangan waktu penyidikan sebagaimana tersebut di atas ternyata penyidik tidak mendapatkan bukti-bukti yang cukup, maka Jaksa Agung harus mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Apabila tersangka berada dalam tahanan, maka perlu juga mengeluarkan surat perintah pelepasan dari tahanan.
Apabila surat perintah penghentian penyidikan telah dikeluarkan, akan tetapi dikemudian hari ternyata terdapat bukti-bukti atau alasan yang cukup, maka penyidikan dapat dibuka kembali dalam rangka melengkapi hasil penyidikan yang telah dilakukan dan selanjutnya dilakukan penuntutan.
Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud di atas tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3.     Penangkapan

Setelah penyidik menerima laporan dari penyelidik yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang telah terjadinya suatu peristiwa pelanggaran hak asasi manusia, maka sehagai kelanjutan daripada adanya pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang, apabila penyidik mempunyai dugaan keras disertai bukti-bukti permulaan yang cukup maka penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap tersangka sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 yaitu: "Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup."
Penangkapan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, karena hal itu melanggar hak asasi manusia. Untuk menangkap seseorang, maka penyidik harus mengeluarkan surat perintah penangkapan disertai alasan-alasan penangkapan dan uraian singkat sifat perkara kejahatan yang dipersangkakan. Tanpa surat perintah penangkapan tersangka dapat menolak petugas yang bersangkutan. Perintah penangkapan baru dikeluarkan kalau sudah ada dugaan keras telah terjadi pelanggaran hak asasi yang berat disertai pula bukti permulaan yang cukup.
Adapun tata cara melakukan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 yaitu:
1)      Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
2)      Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran hak asasi yang berat yang dipersangkakan.
3)      Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
4)      Dalam hal tertangkap tangan penangkapan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik.
5)      Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari.
6)      Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.

Petugas yang akan melakukan penangkapan harus membawa surat tugas untuk dirinya sendiri dengan disertai bukti dirinya dan surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung di mana di dalam surat perintah penangkapan tersebut dicantumkan identitas tersangka yaitu nama, alamat, dengan maksud agar petugas tidak salah tangkap. Di samping identitas tersangka disebutkan pula alasan-alasannya sehingga tersangka harus ditangkap disertai uraian singkat perkara pelanggaran hak asasi yang berat yang dipersangkakan dan tempat tersangka akan diperiksa. Surat perintah penangkapan tersebut selain diberikan kepada tersangka, maka tembusannya diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan itu dilakukan. Dalam hal tertangkap tangan, maka penangkapan dilakukan tanpa surat perintah. Pengertian daripada tertangkap tangan adalah:
a.       Seseorang ditangkap ketika ia sedang melakukan kejahatan.
b.      Seseorang ditangkap tidak lama setelah kejahatan itu dilakukan.
c.       Teriakan masyarakat yang menunjukkan tersangka sebagai pelaku kejahatan tidak seberapa lama setelah kejahatan itu dilakukan.

4.      Penahanan

Berbeda dengan penangkapan, dasar penahanan tidaklah cukup atas bukti permulaan yang cukup saja, akan tetapi penyidik harus mempunyai setidak-tidaknya pembuktian minimum yang disyaratkan KUHAP, yaitu sekurang-kurangnya telah terdapat 2 alat bukti yang tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Selain itu KUHAP menentukan pula syarat untuk dapat melakukan penahanan yang terdiri dari syarat-syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat subyektif bila penyidik menganggap keadaan menimbulkan kekhawatiran tersangka akan:
1)      Melarikan diri.
2)      Merusak atau menghilangkan barang bukti.
3)      Mengulangi melakukan tindak pidana.

Syarat-syarat subyektif ini didasarkan pertimbangan serta penilaian semata-mata dari penyidik yang bersangkutan. Sedangkan syarat obyektif sudah merupakan keharusan bagi penyidik untuk rnelakukan penahanan, setelah syarat-syarat subjektif dipenuhi, mengingat ancaman pidana pelanggaran hak asasi manusia diancam dengan hukuman mati.
Sebagai kelanjutan dari penangkapan terhadap tersangka yang diduga kuat telah melakukan pelanggaran hak asasi yang berat maka terhadap tersangka dapat dilakukan penahanan sebagaimana dimaksud Pasal 12 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 yaitu: "Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan." Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal ini terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Selain dari Jaksa Agung, Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Adapun lamanya penahanan dapat dilakukan diatur di dalam pasal - pasal berikut ini:
Pasal 13.
1)   Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan selama 90 (sembilan puluh) hari.
2)   Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
3)   Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

Pasal 14.
1)   Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
2)   Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua pulu) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
3)   Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

Pasal 15.
1)   Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
2)   Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukunrnya.

Pasal 16.
1)      Penahanan untuk kepentingan pemetiksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari.
2)      Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.

Pasal 17.
1)      Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari.
2)      Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung.
3)       

B.   PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

1.      Acara Pemeriksaan

Apabila kejahatan pelanggaran hak asasi manusia ini dilakukan sebelum Undang-undang ini terbentuk atau peradilan HAM ini terbentuk, maka terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat itu diadili oleh Peradilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 yaitu:
1)      Pelanggaran hak asasi yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc.
2)      Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
3)      Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.

Peradilan hak asasi manusia tidak membedakan siapa pelaku kejahatan itu apakah kejahatan itu dilakukan oleh orang sipil atau anggota militer, maka baik pada tingkat penyelidikan, penyidikan maupun peradilannya dilakukan dalam lingkup peradilan hak asasi manusia yaitu:
1)      Penyelidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
2)      Penyidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh Jaksa Agung.
3)      Peradilannya dilakukan oleh Peradilan Hak Asasi Manusia yang berada dalam lingkungan peradilan umum.
Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan Hak Asasi Manusia yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Majelis hakim tersebut harus diketuai oleh hakim dari Pengadilan Hak Asasi Manusia yang bersangkutan.

2.      Penuntutan

Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 yaitu:
1)   Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
2)   Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah  atau masyarakat. Adapun yang dimaksud "unsur masyarakat" adalah terdiri organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan yang lain seperti perguruan tinggi. Sedangkan kata "dapat" mengandung arti bahwa Jaksa Agung dalam mengangkat penuntut ad hoc dilakukan sesuai denaan kebutuhan saja. Penuntut umum ad hoc dari unsur masyarakat diutamakan diambil dari mantan penuntut umum di Peradilan umum atau Oditur Militer pada Peradilan Militer.
3)   Sebelum melaksanakau tugasnya penuntut umum ad hoc meng- ucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing.
4)   Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat :
a.       Warga negara Republik Indonesia
b.      Berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun
c.       Berpendidikan sarnaja hukum dan berpengalaman sebagai penutut umum
d.      Sehat jasmani dan rohani
e.       Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
f.       Setiap kepada Pancasila dan Undang-undang 1945

Dalam melakukan penuntutan sebagaimana dimaksud di atas, maka penuntut wajib melaksanakan tugasnya paling lambat dalam jangka waktu 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima. Dalam melaksanakan tugas baik dalam tingkat penyidikan maupun pada tingkat penuntutan, pelaksanaan tugas tersebut dipantau oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 yaitu:
"Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat."
Menyimak bunyi pasal tersebut di atas, maka penuntut umum pada peradilan hak asasi manusia, harus bekerja dengan sungguhsungguh, karena suatu perkara yang ditanganinya harus selesai dalam jangka waktu 70 (tujuh puluh) hari. Ketentuan jangka waktu penyelesaian perkara ini tidak saja diwajibkan kepada penuntut umum, tapi diwajibkan pula kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal berikut ini:

Pasal 31.
Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Pasal 32.
1)      Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilirnpahkan ke Pengadilan Tinggi.
2)      Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
3)      Jumlah hakim ad hoc di Pengdilan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang.
4)      Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29, dan Pasal 30 juga berlaku bagi pengangkutan hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.

Pasal 33.
1)      Dalam hal perkara pelanggaran hak aaasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamat: Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.
2)      Pemeriksaan perkara sebagaimann dimaksud di dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 (lima) orang terdiri dari atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
3)      Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang.
4)      Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Dewan Perwakilan Rakyar Republik Indonesia.
5)      Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diangkat untuk satu kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun.





3.      Ketentuan Pidana

Dalam ketentuan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dicantumkan ketentuan pidana sebagai berikut :
1.      Untuk pelaku kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan diberikan ancaman hukuman mati, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan paling ringan 10 tahun. 
2.      Untuk kejahatan penyiksaan diancam dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara dan minimal 2 tahun penjara
3.      Bagi pelanggar HAM yang berupa kekerasan seksual, penganiayaan SARA dan penghilangan secara paksa diancam dengan hukuman selama-lamanya 20 tahun penjara dan paling ringan 10 tahun penjara.
4.      Bagi kejahatan yang dikategorikan percobaan, pemufakatan jahat, atau perbantuan melakukan pelanggaran HAM yang berat dianggap sebagai tindak pidana yang telah selesai (sempurna) pelaksanaannya dikenakan penjara sebagai ketentuan diatas.
Demikian juga seorang komandan militer dapat dimintai pertaanggung jawaban atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh pasukannya serta seorang atasan dapat dimintai pertanggung jawaban atas pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan bawahannya, dengan ancaman hukuman sesuai dengan ketentuan pidana yang telah disebutkan diatas.


1 komentar:

  1. Sangat menarik untuk dilihat, satu yang terbaik Aplikasi film drama korea tinggal Download aplikasi drama korea secara gratis dilayar smartphone kamu hanya dengan Download MYDRAKOR di Googleplay, gratis bisa nonton dimana dan kapan saja.

    https://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main

    https://www.inflixer.com/

    BalasHapus