Rabu, 02 November 2016

Cerpen "Klasik"

Klasik
Sorry ya. Udah nunggu lama?”
Cowok yang semula fokus pada jalanan di luar sana langsung menoleh ke arahku. “Enggak kok. Baru juga.” Senyumnya selalu bisa membuat jantungku berdegup dua kali lebih cepat. “Duduk. Udah aku pesenin lemon tea.” Tambahnya lagi.
“Makasih, Farhan. Kamu emang sahabat terbaik.” Setelah menerima hasil kelulusan tadi, Farhan mengajakku bertemu di cafe depan sekolah. Kami memang sering menghabiskan waktu di cafe ini sepulang sekolah.
“Vee, minggu depan aku berangkat keluar kota.” Aku langsung menatapnya, tapi Farhan malah membuang pandangannya dariku. Setelah itu, kami hanya diam dengan pikiran masing-masing.
Kalimat yang diucapkan Farhan tadi sangat berpengaruh besar terhadapku. Apa aku pernah bilang jika aku menyukainya? Ya aku menyukai Farhan Adinata, sahabatku sendiri sejak kecil. Dia juga sudah mengetahui perasaanku beberapa hari yang lalu, dan aku juga tahu jika perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan.
“Kamu juga kapan berangkat ke Istanbul?” aku ingin menangis sekarang. Aku tahu sudah membicarakan ini semua dengan Farhan. Tapi rasanya, sakit. Saat mengetahui kita mempunyai perasaan yang sama tapi tidak bisa bersama. Enggak, ini kan sudah keputusanku dan Farhan. Dan aku masih bisa bersama Farhan. Farhan tetaplah sahabatku.
“Gak usah nangis. Kita udah bicarain semuanya, dan kita udah sepakat gak akan merubah apapun. Kita juga udah janji, semuanya akan seperti dulu saat kita kembali lagi.”
Farhan mengusap air mata yang mengalir di pipiku. Dia juga membawaku ke dalam pelukannya. Aku akan merindukannya.
“Aku anter kamu pulang.”
***
Aku menatap cafe itu dari luar. Sudah hampir 4 tahun, dan kurasa tidak ada yang berubah. Pandanganku tertuju pada seorang gadis yang memilih duduk di luar cafe dan sedang sibuk menyesap lemon tea-nya. Banyak yang berubah dari gadis itu selama 4 tahun, penampilannya lebih dewasa dan kacamata berbingkai hitam yang ia kenakan membuatnya terlihat sangat manis.
Tanpa sadar kakiku sudah membawaku melangkah menuju tempat gadis itu. Tanpa permisi, aku langsung duduk di kursi yang ada di hadapannya.
“Jahat banget sih udah balik ke Indonesia gak ngasi kabar.” Dia langsung melihat ke arahku dan memperlihatkan wajah kagetnya.
“Farhan?”
 “Oh gitu, sekarang udah lupa ya sama ‘sahabat’ sendiri.” Aku mengubah nada bicaraku –pura-pura marah– dan menekankan pada kata sahabat.
“Gak usah sok ngambek deh. Inget umur, Han.” Katanya sambil terkekeh kecil. Dia masih Vee yang sama. Vee yang dulu selalu membuatku tersenyum. Dan Vee yang pernah ada di hatinya dari dulu...
sampai sekarang.
Violeta Prameswari, I miss you.
“Tergantung. Kalo dibawain oleh-oleh dari Istanbul, aku gak ngambek lagi.” Kataku langsung nyengir.
“Iya deh nanti dibeliin kebab Istanbul di depan minimarket.”
“Kalo itu mah aku gak usah nunggu kamu pulang, juga bisa beli sendiri Vee.” Dia terkekeh lagi. Membuatku tidak tahan untuk tersenyum. Senyumnya selalu menular, membuat siapapun yang melihat senyum itu juga ikut tersenyum.
“Iya deh nanti mampir ke rumah. Oleh-olehnya ada di rumah. Mana aku tahu kalo mau ketemu kamu di sini.”
“Ya udah ayo cepet ke rumah kamu Vee.” Aku langsung menarik Vee ke arah mobilku. Perjalanan menuju rumah Vee sangat hening. Meskipun kami bersikap biasa, tidak dipungkiri kecanggungan itu masih ada.

Kisah klasik semasa SMA yang aku yakin hampir semua orang pernah mengalaminya. Dua sahabat yang selalu bersama, tiba-tiba jatuh cinta. Tapi kisahku dan Vee berbeda. Jika kebanyakan dari mereka akan merubah status persahabatan menjadi kekasih, maka aku dan Vee berbeda. Aku dan Vee hanya tidak ingin merusak hubungan kami yang sudah seperti ini sejak kecil. Terlalu banyak ketakutan jika hubungan kami berubah, karena hidup tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Takdir Tuhan ke depannya siapa yang tahu?

0 komentar:

Posting Komentar